Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Pizza Andaliman: Penganan Italia Selera Batak

12 Oktober 2023   10:34 Diperbarui: 12 Oktober 2023   10:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak banyak yang tahu bahwa salah satu ikon kuliner tersohor Balige: Pizza Andaliman, dulunya adalah restoran biasa. Bukan saya lho yang ngomong begitu, tetapi pemiliknya sendiri yang ngomong (dan tentu karena orangnya humble), waktu menyampaikan prakata pada acara Demo Masak bersama chef Oka Siregar di tempat yang sama beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya saya tidak setuju kalau disebut restoran biasa, karena di mata saya restoran ini dulu keren & estetis. Furniturnya dari bahan alami, didominasi kayu yang sengaja tidak dibentuk sempurna dan dibiarkan raw sehingga menampilkan kesan artistik.

Dari bahan alam bukan berarti merusak alam, apalagi merusak Vetty Vera. Paham gak, sih? Kalau gak, saya sedih karena joke saya jadi kering kerontang.

Dari bahan alam maksudnya menggunakan material alami. Seperti meja & kursi yang terbuat dari kayu-kayu tua yang kokoh. Di tempat lain mungkin kayu-kayu ini akan teronggok tak berharga, tetapi di restoran ini wujudnya menjadi objek seni yang fungsional. Beberapa tampilan meja dan kursi dibiarkan tidak simetris. Saking asimetrisnya, saya pernah hampir terjungkal karena ternyata ada satu kursi yang kakinya tidak rata. Atau saya yang kurang peka? Siapa tau kursi ini merangkap fungsi menjadi wahana jungkat-jungkit juga? Entahlah...

Seperti yang kita tahu, pada beberapa karya seni, bentuk asimetris justru memberi kesan artsy & estetis. Tapi style asimetris ini cukup diaplikasikan ke benda seni saja ya, tidak perlu diaplikasikan juga ke wajah orang.

Lokasi restorannya juga mojok di area terbuka dengan pemandang hijau sejauh mata memandang hamparan hijau membentang, mengingatkan saya waktu mengunjungi restoran-restoran dengan interior yang sama di Ubud, Bali.

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Balige, yang saya tau dulu namanya adalah restoran Bo.Ru.Ku. Tadinya saya pikir nama restoran ini terinspirasi dari nama-nama Jepang atau negara apa lah, karena ejaan dan penggunaan tanda baca yang edgy begitu. Tetapi ternyata Bo.Ru.Ku ini maksudnya ya 'boruku' (yang dalam bahasa Batak) berarti anak perempuanku/putriku. Ya, sesederhana itu. Sungguh aku tertipu!

Semua bermula dari pemikiran yang ingin berinovasi dari pemiliknya Sebastian Hutabarat & Imelda Napitupulu. Karena sudah terlalu banyak bisnis restoran dengan menu yang serupa, sehingga terpikir untuk menawarkan sesuatu yang beda. Sesuatu yang khas dan bisa bikin stand out. Berpikir kreatif dan inovatif begitu lah!

Saya masih ingat mereka membuka sebuah kedai kecil di depan studio foto yang juga merupakan bisnis yang mereka jalankan di lokasi yang sama. Pssttt, the leading studio photo juga pada masa itu: Toba Art.

Adalah dua orang sang Guru: Herr & Frau Tomas Heinle, yang juga turut membantu membidani proses 'evolusi' restoran Bo.Ru.Ku menjadi Pizza Andaliman.

Jika anda pikir mereka bikin pizza asal cap-cip-cup belalang kuncup, alias asal comot bahan dan asal bakar. No..., anda salah! Mereka bekerjasama dengan seorang kenalan orang asing tersebut di atas. Istilahnya, mereka juga melibatkan 'pemuda setempat'.

Saya sendiri pernah mencoba bikin pizza, hasilnya jadi bakwan. Saya bisanya cuma bikin Tortilla. Maklum, orang Spanyol. Tapi gak usah di-test ya! Nanti ketahuan bohongnya.

Kembali lagi ke pembahasan pizza, jangan bayangkan se-fancy Pizza Hut atau Papa Ron's Pizza dengan keju mozarela yang larik-larik keju cairnya bisa melar jika ditarik sampai ke luar angkasa. Pizza Andaliman tampilannya sederhana, but hey...less is more!

Pizza Andaliman khas di dressing-nya yang mengangkat rasa bumbu khas hidangan Batak: andaliman, sebagai selling point.

Saya sendiri bukan penggemar pizza, juga bukan penikmat rasa andaliman. Tetapi ketika pizza dipadu dengan saos andaliman, kok nikmat tiada tara ya?

Karena alasan rivalitas bisnis, sudah umum jika pemilik usaha kuliner biasanya merahasiakan resep yang mereka gunakan dalam produk jualan mereka. Tetapi pemilik Pizza Andaliman ini malah sebaliknya, senang berbagi. Saya ingat banget di samping kedai pizza ada spanduk bertulisan resep & cara membuat pizza andaliman seperti yang mereka jual.

Tetapi memang betul juga, bahwa resep boleh sama, tetapi vibe yang berhubungan dengan human touch seperti penyajian & pelayanan pasti berbeda, karena memang itu poin utama hospitality.

Saya sendiri pernah mencoba (lagi) membuat pizza dengan mengikuti resep yang ada di spanduk. Hasilnya tetap jadi bakwan. Orang lain mungkin hasilnya jadi tempe mendoan. Makanya sampai sekarang Pizza Andaliman masih melenggang sendirian sebagai 'the top notch pizza' di Toba.

Beberapa kali saya mengunjungi tempat ini, baik solo karir, maupun menjamu teman yang datang dari luar kota, luar negeri, maupun dari neraka. Sesuai namanya, jualan utamanya memang pizza. Tetapi bukan berarti gak ada menu lain seperti nasi atau cah kangkung. Tapi kalau mau makan nasi, ngapain jauh-jauh ke Danau Toba, hei?

Jadi kalau kita pesan pizza, kita dikasih dua macam dressing creamy: warna orange & warna krem. Yang berwarna krem yang mengandung andaliman, dan itu yang selalu saya incar. Yang berwarna orange? I don't care! Saya curiga mengandung cabe merah keriting yang bisa mengubah saya seketika menjadi naga: mengeluarkan api dari mulut.

Menu lain favorit saya, saya lupa namanya, tetapi semacam appetizer (atau dessert, ya!?) berwujud nenas yang dibentuk jadi perahu, diisi dengan potongan buah-buah tropis, disiram cuka mangga (orang-orang sini menyebutnya 'wine manggo'. Iya'in aja!), dan beberapa scoup ice cream.

Saya tidak tahu apakah menu ini masih eksis sekarang. Soalnya dulu pesannya sudah lama. Terakhir ke sini bulan lalu, eh saya lupa sama menu favorit saya ini, dan malah pesan secang. Tetapi secang juga telah menjadi menu favorit saya, meskipun tampilannya agak mengintimidasi. Seperti semacam teh, tapi teh-nya berbentuk serpihan-serpihan kayu dari balok atau papan yang baru diketam, dan kalau disiram air panas mengeluarkan warna merah ragu.

Merah ragu ini jenis warna karangan saya. Warnanya merah, tetapi kayak ragu-ragu gitu, sehingga warna merahnya gak benar-benar merah. Bingung gak loe? Rasakan itu!

Dari yang semula kedai sederhana di pinggir jalan, Pizza Andaliman kini sudah bermetamorfosa menjadi kedai cantik dengan tampilan lokasi outdoor yang lebih yahud. Lokasi yang alami sekali karena di kelilingi pepohonan dan tanaman holtikultura.

Ada beberapa pilihan tempat untuk menikmati pizza & menu-menu lain: meja & kursi kecil tepat di depan kedai, atau di saung-saung tanpa dinding dengan atap jerami, juga menyediakan tempat untuk yang suka lesehan. Untuk yang kakinya gampang kesemutan, yang lesehan ini tidak saya rekomendasikan. Tetapi bagi yang tidak ada masalah dengan peredaran darah di kaki, lesehan ini lebih asyik karena ada akses ke rak berisi buku-buku bacaan, dan bisa sambil tiduran.

Di bagian belakang ada bangunan kayu untuk penyediaan jasa spa dan penginapan. Arsitektur bangunannya dibikin berbentuk bahtera: kapal kayu segede bukit. Dengar-dengar, inspirasinya memang kapal nabi Nuh seperti yang tertulis di Alkitab.

Pizza Andaliman ini sudah menjadi salah satu a must-visit place kalau sedang berada di Toba. Rasanya tidak afdol kalau datang mengunjungi Danau Toba, tapi tidak mampir ke sini. Jajaran menteri yang kebetulan sedang dinas ke kawasan Toba pasti menyempatkan nongkrong di tempat kece ini. No wonder!

Tamu-tamu yang menginap di hotel tempat saya bekerja: Mutiara Balige Hotel (tolong catat dan ingat nama hotel ini saat anda ke Balige dan mencari tempat bernaung ya), pasti selalu bertanya mengenai Pizza Andaliman. Dan saya dengan senang hati selalu menjelaskan dan menunjukkan lokasinya.

Untungnya, lokasi Pizza Andaliman ini tidak jauh-jauh amat dari peradaban, walaupun tidak tepat di pusat kota. Tetapi relatif gampang menjelaskan lokasinya karena tidak pakai acara masuk gang, pedalaman atau hutan. Masih berada di jalan utama. Pokoknya jarang ada yang gagal menemukannya, kecuali kalau melamun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun