"Pak, kalau tidak salah tanaman ini namanya lidah mertua ya?"
"Betul, Bu"
"Kalau yang ini?"
"Tenggorokan menantu, Bu"
"Lho, kok bisa?"
"Biar adil, Bu. Kalau ada lidah mertua, berarti harus ada tenggorokan menantu."
Sebenarnya saya tidak tahu namanya apa. Tetapi karena eksistensi lidah mertua, maka tenggorokan menantu adalah tebakan yang paling masuk akal.
"Kok bisa ya ada tanaman dinamai lidah mertua?"
"Mungkin yang kasih nama pernah bermasalah dengan mertua, Bu"
"Kalau lidah menantu?"
"Ya sama kasusnya. Yang kasih nama pernah punya dendam kesumat sama menantu."
"Gara-gara apa ya kira-kira?"
Hei, manalah saya tahu!
Demikian sekilas dialog yang umum terlontar ketika saya sedang menyempatkan waktu untuk mengurus tanaman di hotel tempat saya bekerja, sambil berbasa-basi dengan tamu.
'Healing' versi saya, ya healing yang diterjemahkan secara harafiah: penyembuhan. Penyembuhan yang berarti melakukan aktifitas yang sebenarnya tidak begitu kita sukai, tetapi mau tidak mau harus kita lakukan demi kesembuhan.
Saat sakit, kita tidak disuruh makan bakso, menggunjingi tetangga, makan gorengan lima biji (tapi bayarnya tiga), dan kenikmatan duniawi lainnya. Tetapi justru disuruh makan obat yang rasanya sepet, terapi yang menjemukan, dihujam jarum suntik, serta pahit getir kehidupan lainnya yang tujuannya untuk kesembuhan.
Dan dari dulu saya paling tidak suka tanaman. Jangankan mengurus, memegang saja malas. Jangankan untuk bertemu, menitip salam pun sudah tak  boleh. Eh, kok jadi lagu?
Makanya dulu Mama saya kalau menyuruh saya menyiram bunga, sudah seperti menyuruh berangkat ke medan perang saja. Susahnya minta ampun.
Semua berubah sejak saya bekerja di hotel. Kesal melihat bunga-bunga yang bolak-balik mati, padahal kan perlu sekali untuk area hijau dan pembersihan udara. Juga untuk keindahan duniawi. Apalagi saya dibayar bekerja di sini, ya harus berkontribusi dong.
Jadi terbukti lho, bahwa uang bisa mengubah orang.Ya tidak salah sih, asal mengubah ke arah yang lebih baik