Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama FEATURED

Era Digital yang "Mengagungkan" Kuantitas

25 September 2021   11:34 Diperbarui: 30 November 2021   06:52 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi MP3. Teknologi kompresi file audio. (sumber: SHUTTERSTOCK/Rawpixel.com via kompas.com)

Teknologi internet harus diakui memang sangat membantu mempermudah akses & komunikasi di seluruh dunia. 

Jika dulu jalur koresponden konvensional masih memakan waktu berhari-hari, sekarang dengan era digital bisa tereksekusi hanya dalam hitungan detik.

Mengirim data atau file dalam ukuran berapapun sudah bisa langsung diterima pada saat itu juga, meskipun penerima berada di belahan bumi yang lain, yang penting ada akses internet.

Invasi teknologi ini juga mempengaruhi industri musik dunia. Apalagi setelah eksisnya era musik digital dan online. Kaset dan CD kini digantikan oleh platform pemutar musik online seperti iTunes, Spotify, Joox, dll. Sementara program musik acara di televisi kini sudah mulai digantikan oleh Youtube.

Sayangnya, era modern dan serba instan ini terkesan seperti membuat para pelaku industri zaman now 'mendewakan' kuantitas dan mengesampingkan kualitas. 

Sekarang sebuah karya dianggap hebat dan sukses jika memiliki jumlah view, play, follower & subscriber yang berjibun. 

Sementara bukan rahasia umum lagi bahwa raupan jumlah ini bisa diakali dengan trik tertentu. Bahkan ada semacam team yang membuka jasa untuk membantu menambah jumlah tersebut dengan tarif tertentu.

Maka tidak heran jika sekarang sebuah lagu atau video tiba-tiba viral dan menjadi headline sebuah berita hiburan hanya karena sudah memiliki views sekian juta, padahal sebenarnya lagu atau video tersebut biasa saja, bahkan sering tidak memiliki value apa-apa. 

Sekarang publik seolah hanya tertarik pada karya atau konten yang sedang ramai saja, sekedar mengikuti trend supaya terlihat update & gaul.

Sektor industri jelas tak luput dari imbasnya. Karya musik kini sudah sangat jarang dirilis dalam bentuk fisik seperti kaset & CD, digantikan dengan file digital yang bisa diunduh dan diputar setiap saat lewat jalur online melalui gadget berupa ponsel android atau laptop. 

Itu sebabnya beberapa tahun yang lalu toko-toko musik yang pernah berjaya dan menjadi tempat nongkrong favorit anak-anak muda, seperti Aquarius, Tarra Mega Store, Music +, Disc Tarra, dll kini kolaps satu persatu.

Namun untuk pihak perusahaan rekaman, hal ini jelas sangat menguntungkan, karena memangkas biaya produksi pita kaset dan cakram. Belum lagi biaya distribusi ke toko-toko musik ke berbagai wilayah yang pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

kolase -- ilustrasi pribadi
kolase -- ilustrasi pribadi

Juga termasuk biaya disain artwork sampul album/single, promo dalam bentuk video klip dll. Musik dalam format digital tentu tidak membutuhkan distribusi, dan tak perlu mencetak artwork untuk kemasan cover album/single.

Bandingan dengan industri musik sebelum era digital. Jika anda menggemari sebuah karya musik, anda harus pergi ke toko musik untuk membeli atau sekedar mendengarkan. 

Anda juga akan menyisihkan waktu untuk membuka-buka cover album/single-nya sekedar mengangumi disain dan rangkaian foto-foto sang artis, bahkan mungkin juga membaca prakata berupa ucapan terima kasih dari artis.

Untuk mencapai posisi puncak sebuah chart, seorang penyanyi/band harus mengungguli artis lain dalam penjualan album yang dihitung berdasarkan data penjualan dari toko-toko kaset dari seluruh penjuru. 

Juga berdasarkan airplay di radio yang kalkulasinya merujuk pada request pendengar radio via telepon atau kartu pos per-individu. Bisa dibilang penentuannya sang juara cukup fair & jujur, karena kecil kemungkinan untuk disabotase seperti yang umum terjadi di penentuan lewat vote SMS atau online.

Jika anda menyukai sebuah video musik, anda harus betah menonton sebuah program musik di televisi sambil berharap-harap cemas video musik favorit anda akan diputar di awal, di tengah atau di akhir acara. 

Jika kurang beruntung karena video tersebut ternyata tidak diputar, anda harus sabar menunggu acara yang sama tayang lagi minggu depan, atau bahkan bulan depan. Sekarang? Tinggal searching saja di Youtube.

Termasuk untuk menentukan pemenang sebuah penghargaan/award, para partisipan harus terlebih dahulu mengisi formulir yang umumnya tersisip di majalah atau tabloid. 

Jadi untuk mendapatkannya, anda harus beli dulu majalah atau tabloidnya, isi formulirnya dengan data, tuliskan nama artis yang anda inginkan menang, lalu kirim lewat kantor pos. 

Sama sekali tidak ada yang serba instan. Ada usaha ekstra yang harus dikerahkan untuk membela artis kesayangan anda, dan ini tentu saja tidak bisa didelegasikan ke orang-orang yang tidak berkepentingan. Harus anda sendiri yang melakukannya dan harus benar-benar berdedikasi.

Bandingkan dengan sekarang yang menggunakan sistem voting yang hanya sebatas klik tombol pakai jari. Istilah kasarnya, bahkan kambing pun bisa ikut voting.

Jika dulu The Beatles atau Queen berhasil menjual 183 juta keping album, itu benar-benar album dalam bentuk kaset dan CD, yang distribusinya membutuhkan ratusan kontainer untuk mengangkut.

Saya kadang bertanya dalam hati, apakah seniman masa kini menikmati era ini? Era dimana memiliki karya yang ada wujudnya, tidak bisa disentuh, tidak autentik. 

Beruntunglah Slank, Anggun C. Sasmi, Iwan Fals dan artis-artis lain yang pernah merasakan sensasi keberhasilan menjual  jutaan keping kaset atau CD, dan kini juga ikut merasakan era musik digital.

Tapi memang setiap zaman memiliki kekuatan dan kekurangan masing-masing. Musik digital  pun sebenarnya tidak buruk-buruk amat, apalagi untuk penikmat musik yang maunya serba praktis, tak mau ribet dengan segala perangkat pemutar musik.  

Tetapi untuk penikmat musik tipe kolektor, jelas bahwa era musik digital adalah sebuah disaster. Tak ada lagi bentuk fisik sebagai bukti autentik, tak ada lagi perjuangan extra untuk mendapatkan, sehingga mau tak mau nilai karya pun seolah seperti menurun. 

Karena bukankah semakin susah kita mendapatkan sesuatu, kita akan semakin menghargainya saat mendapatkannya? Sebaliknya, semakin gampang kita mendapatkan sesuatu, semakin sepele perlakukan yang kita berikan.

Hanya satu pertanyaan yang menggelitik saya. Di era musik digital ini, ketika seorang penggemar hendak meminta tandatangan si artis atas karya musiknya, sang artis akan menandatangani di mana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun