Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama FEATURED

Era Digital yang "Mengagungkan" Kuantitas

25 September 2021   11:34 Diperbarui: 30 November 2021   06:52 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi MP3. Teknologi kompresi file audio. (sumber: SHUTTERSTOCK/Rawpixel.com via kompas.com)

Jadi untuk mendapatkannya, anda harus beli dulu majalah atau tabloidnya, isi formulirnya dengan data, tuliskan nama artis yang anda inginkan menang, lalu kirim lewat kantor pos. 

Sama sekali tidak ada yang serba instan. Ada usaha ekstra yang harus dikerahkan untuk membela artis kesayangan anda, dan ini tentu saja tidak bisa didelegasikan ke orang-orang yang tidak berkepentingan. Harus anda sendiri yang melakukannya dan harus benar-benar berdedikasi.

Bandingkan dengan sekarang yang menggunakan sistem voting yang hanya sebatas klik tombol pakai jari. Istilah kasarnya, bahkan kambing pun bisa ikut voting.

Jika dulu The Beatles atau Queen berhasil menjual 183 juta keping album, itu benar-benar album dalam bentuk kaset dan CD, yang distribusinya membutuhkan ratusan kontainer untuk mengangkut.

Saya kadang bertanya dalam hati, apakah seniman masa kini menikmati era ini? Era dimana memiliki karya yang ada wujudnya, tidak bisa disentuh, tidak autentik. 

Beruntunglah Slank, Anggun C. Sasmi, Iwan Fals dan artis-artis lain yang pernah merasakan sensasi keberhasilan menjual  jutaan keping kaset atau CD, dan kini juga ikut merasakan era musik digital.

Tapi memang setiap zaman memiliki kekuatan dan kekurangan masing-masing. Musik digital  pun sebenarnya tidak buruk-buruk amat, apalagi untuk penikmat musik yang maunya serba praktis, tak mau ribet dengan segala perangkat pemutar musik.  

Tetapi untuk penikmat musik tipe kolektor, jelas bahwa era musik digital adalah sebuah disaster. Tak ada lagi bentuk fisik sebagai bukti autentik, tak ada lagi perjuangan extra untuk mendapatkan, sehingga mau tak mau nilai karya pun seolah seperti menurun. 

Karena bukankah semakin susah kita mendapatkan sesuatu, kita akan semakin menghargainya saat mendapatkannya? Sebaliknya, semakin gampang kita mendapatkan sesuatu, semakin sepele perlakukan yang kita berikan.

Hanya satu pertanyaan yang menggelitik saya. Di era musik digital ini, ketika seorang penggemar hendak meminta tandatangan si artis atas karya musiknya, sang artis akan menandatangani di mana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun