"Tebak-tebakan itu apapun gimiknya dan apapun kemasannya (buat gue) bukan stand-up comedy." --Ernest Prakasa, ketika mengomentari penampilan Yono Bakrie.
Komentar pertama Ernest Prakasa --yang mana malam itu mungkin jadi juri penggati untuk Pandji-- mengenai "tebak-tabakan" sebenarnya sudah dimulai saat mengomentari Dwik.
"Keren, bagus, tapi buat gue sayang gimik lu nutup (penampilan) pake tebak-tebakan malah menodai kecemerlangan lu malam ini," ujar Ernest.
Barulah saat row ketiga, Jerry dan Yono, komentar Ernest langsung menjelaskan apa yang disayangkan mengenai "tebak-tebakan" dan stand-up comedy.
Karena di sini, lanjut Ernest mengomnetari Yono, kita mencari stand-up comedian --kenapa?-- karena memang itu bukan bagian dari khasanahnya.
"Menurut gue kalau lu selipin (tebak-tebakan) apapun tekniknya, apapun kemasannya, apapun relevansinya itu cara gampang buat cari ketawa dari penonton itu bukan cara yang sportif," lanjutnya.
Intinya, masih menurut komentar Ernest, kalau mau mendapat ketawa penonton bikin materi yang bagus.
Sepanjang komentar tersebut, tiba-tiba suasan Usmar Ismail sepi. Penonton yang hadir di sana seakan perlu memerhatikan komentar juri kepada peserta
Asumsiku, karena penonton tahu, ada satu komika lain yang mengandalkan tebak-tebakan sebagai kekuatan utama bit-nya: Gautama!
Untungnya sebelum menutup semua komentar para juri, Hifdzi Khoir mencairkan suasana: Terima kasih, Yono dan Jerry, boleh dituntut Yono keluar. Gerrr!!!
***
Gautama tampil. Masih dengan tebak-tebakan khasnya. Tebak-tebakan layaknya "jokes bapak-bapak" pada umumnya.
Kuberitahu bedanya: pada 2 penampilan sebelumnya memang Gautama tampil dengan tebak-tebakan. Akan tetapi, malam itu, Gautama justru meceritakan beragam keresahannya setelah tampil di SUCI X.
Kini tebak-tebakan bukan lagi jokes recehan. Karena penampilan Gautama di SUCI X ini yang telah mengangkat itu sehingga orang-orang (Jakarta) suka.
Jadi, banyak komika sekarang justru yang memintanya diajari tebak-tebaknya. "Belajar dulu set-up sama punchline, baru... tebak-tebakan," katanya.
Tidak ada punchline yang tidak ditangkap penonton. Semua tertawa. Bahkan sampai tantangan yang diberikan kepada peserta dimasukan sebagai materi --bukan sekadar ada!
Silang pendapat pun terjadi antara Raditya Dika dan Ernest ketika mengomentari penampilan Gautama.
Ernest masih pada sikapnya tentang tebak-tebakan dan Raditya Dika yang selalu menyukai gaya tebak-tebakan Gautama.
Pada akhirnya, tentu saja, ada di tangan Gautama: mau mengikuti komentar dan saran juri yang mana?
***
Melihat penampilan Gautama malam itu, menurutku, merupakan set-list terbaiknya pada 3 minggu pertama di SUCI X.
Tidak ada tebak-tebakan yang muncul ujug-ujug sekadar mendapat dan/atau mencari tawa penonton karena tuntutan laugh per minute (LPM) juri.
Adalah benar tebak-tebakan yang diselingi jawaban penonton "apa tuuuh?" pasti langsung mendapat respon, perhatian, sekaligus tawa rispek penonton, "aaahhhh".
Pada akhirnya, sebagai penonton, kita bisa mengotakan "tebak-tebakan" dan "plesetan" pada satu layer yang sama.
Uus, misalnya, komika dengan sejuta plesetan yang tiada habis dan tidak terpikirkan sebelumnya malah jarang memasukan itu pada set-list penampilannya.
Terakhir menonton Uus di Local Stand-up Day tidak ada plesetan yang keluar. Uus justru cerita panjang-lebar mengenai hubungan dengan istrinya.
Aku dan orang yang nonton bersamaku, malah saling lirik-lirikan mendengarkan Uus. Padahal niatku menontonnya adalah karena ingin mendengar plesetannya.
Uus, barangkali, tahu kekuatannya ada pada plesetan, tapi ketika ada kesempatan tampil justru Uus ingin memberi hal lain kepada penonton.
Tidak terlalu lucu, tapi penonton bisa paham mengapa kemudian Uus yang sekarang bukanlah Uus yang dulu --yang sering tampil di TV.
Keberanian itulah yang patut dihargai kepada komika saat berani membicara apapun, se-tepi jurang sekalipun.
***
Karena komentar Ernest kepada Gautama terkait tebak-tebakan, malah mengingatkanku pada wawancara Boris Bokir dengan Abdel Achrian di Wawancanda.
Saat ditanya pejalanan karier menjadi komika, Boris menceritakan pengalamannya ketika ikut SUCI 2 kala itu.
Boris Bokir yang digadang-gadang sebagai finalis SUCI 2 justru terhenti pada 7 besar saja.
Penyababnya, menurut Boris, karena beban sudah dikenal sebagai komika sebelum ikut kompetisi SUCI.
"Mulai di SUCI 2, episode perdana, terlalu lucu jadi ratingnya sudah di sini (tinggi) begitu Radit melihat," kata Boris Bokir.
Istilah kata (((istilah kata))), lanjut Boris, saat start sudah mendapat nilai 8,5 dari juri. Sehingga, pada minggu berikutnya, walaupun mendapat nilai 7 terlihat menurun penampilannya.
Ketika dieliminasi sebenarnya penampilan Boris tidaklah jelek-jelek amat. Karena (1) penonton sudah suka penampilan Boris, sehingga apapun jokes yang dilempar pasti diterima.
Sedangkan (2) Radit, menurut Boris, melihat materinya tidak ada perkembangan dan sekadar mengandalkan logat (batak)nya sebagai penolong untuk lucu.
"Padalah kan kompetisi lucu-lucuan, ya, mestinya kalau sudah lucu aman," timpal Cing Abdel.
Akan tetapi setelah tereliminasi Boris menyadari: bahwa juri ternyata lebih menghargai komika yang punya progres setiap minggunya.
***
Dalam sebuah kompetisi, apalagi SUCI, ada banyak aspek yang membuatnya selalu menarik setiap season-nya. Bukan lagi sekadar lucu-lucuan antarkomika.
Tebak-tebakan memang lucu, tapi apakah bisa bertahan di kompetisi dengan itu saja? Apalagi tebak-tebakan bukan barang baru dalam khasanah komedi.
Maksudnya, sepatah apapun tebak-tebakan itu, kita yang mendengar juga bisa menakar lucunya sendiri, kan?
Atau, mungkin, Indra Jegel dengan pantunnya. Sama. Tapi, untuk bisa berkarier sebagai komika, apakah melulu tentang pantun? Rigen dengan marah-marahnya. Ridwan Remin dengan opini ketusnya.
Itu baru tebak-tebakan di stand-up comedy dalam sebuah kompetisi. Bagaimana jika sebuah jokes dijadikah hukuman bagi terpidana seumur hidup: menonton jokes Panca Atis setiap hari~
komedi sebelum tidur. pic.twitter.com/TGZxHDD5X0--- Kangmas Harry (@_HarRam) May 19, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H