Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tante Gopek

24 Juli 2020   02:26 Diperbarui: 21 Agustus 2020   18:44 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay/Victoria_Borodinova

Tante Gopek, begitu kami -siapapun yang mengenal perempuan tersebut- memanggilnya. Ia seorang Ibu paruh baya. Usianya mungkin antara 40-45 tahun. Ia tidak gila, hanya saja tidak waras.

Tidak gila, tapi (juga) tidak waras. Ngng... bagaimana ya menjelaskannya? Akrab dengan karakter Upi dalam novel Saman, Ayu Utami? Ya, lebih-kurang seperti itulah Tante Gopek.

Ia tetanggaku, rumahnya 3 blok dari rumahku. Tapi dari lapangan basket tempatku main, ada jalur naga dari rumahnya sehingga kapanpun -mungkin dari ia bangun tidur- sudah ada di lapangan: menemani anaknya main, ketika kami sedang main.

Anehnya, tidak ada yang tahu asal mula mengapa Tante Gopek bisa seperti itu. Namun, paling tidak, ada 2 cerita yang sudah tersebar sejak dulu.

Pertama, katanya, dulu pernah mengalami kesulitan finansial kala suaminya di-PHK dari perusahan ternama di Indonesia. Hidupnya berubah 180 derajat.

Kedua, katanya, pernah ada yang berbuat jail padanya ketika cintanya ditolak. Ya, dulu ia adalah gadis pujaan pria. Sayangnya, dulu, ia lebih memilih suaminya. Aksi jailnya itu, katanya, yang membuat Tante Gopek sampai sekarang.

Tante Gopek punya 4 anak dari suaminya, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Keempat anaknya itu diperlakukan sama olehnya: dibawa ke mana-mana sejak bayi. Dibawa saja berkeliling, tapi sama sekali tidak mengemis seperti yang biasa kita lihat di jalan-jalan.

Perlahan anaknya tumbuh besar, sekolah, dan tidak lagi diajak keliling. Lalu, tidak lama, ia melahirkan anak lagi, dibawa keliling lagi, besar, sekolah, dan tidak lagi diajak. Lahir anak ketiga, sama, hingga sekarang anak keempatnya yang terkecil.

Anak keempatnya sudah cukup besar, 7 tahun mungkin. Belum sekolah. Tapi, setiap pagi, ia sudah main ke lapangan. Pagi, siang, sore di lapangan. Anaknya yang keempat sudah tidak bisa dibawa atau diajak, tapi Tante Gopek selalu ada melihat anaknya main.

Sekali waktu ia kadang pergi meninggalkan anaknya main. Tapi, sekembalinya dia itu akan membawa sesuatu yang bisa dimakan anaknya, entah gorengan atau mie intan yang dimakan instan: tanpa dimasak.

Tak pernah sekalipun Tante Gopek melarang ini-itu kepada anaknya yang tengah main. Dari kejauhan, ia hanya memanggil namanya: "Di, Adi... Adi..."

Kadang ia malah meracau sendiri. Tidak ada yang ia ajak bicara atau mengajaknya bicara. Sambil duduk di panggung dekat lapangan, mengenakan kaos hijau bertuliskan "greenlight", ia teriak marah-marah.

Pernah satu kali ketika aku sedang main basket sama peang, uang kembalian beli air mineral aku letakan di tiang panggung. Aku lihat anaknya Tante Gopek duduk di sana. Tidak lama, ia tidak ada begitu juga dengan uangku.

Aku tanya anak-anak kecil yang sedang main di sekitar lapangan, tapi tidak ada yang lihat. Lewat jalur naga, aku datangi rumahnya. Tante Gopek sedang makan di teras menyuapi anaknya. Aku tanya baik-baik, ia tidak mengakuinya. Masih kutanya baik-baik, Tante Gopek justru memarahiku, membela anaknya.

Mungkin karena mendengar keributan di luar, anaknya yang pertama keluar. Ia terus memaksa adiknya untuk mengakui. Adiknya masih menjawab dengan "tidak tahu, bukan aku... tidak tahu, bukan aku."

Ketakutan itu berujud, meski tidak terbentuk. Jadi aku tahu kalau kakaknya takut terjadi apa-apa. Kakaknya tahu siapa aku.

Tak lama adiknya berdiri. Dari celana dalam yang ia lipat ke dalam, ia keluarkan uangku. Tanpa kuhitung, aku lekas pergi.

***

Lapangan memang tempat bermainnya anak-anak. Bahkan ketika aku kelas 5 SD, guruku selalu bilang ketika kami sedang ribut-bercanda di kelas: kalau mau main di lapangan sana!

Untuk itulah, lapangan jadi arena bermain anak tanpa aturan. Mereka bebas melakukan apapun di sana. Berteriak, bertengkar, hingga tertawa terbahak-bahak. Bebas. Satu-satunya aturan yang mereka sepakati: tidak boleh ada yang sakit hati. Makanya sekesal apapun anak-anak, tidak pernah ada dendam di antara mereka.

Sayangnya selalu ada yang terlupakan: orangtua yang mengawasi anaknya bermain. Mereka tidak perlu mengatur atau melarang, cukup hadir, ada di dekatnya, ketika sedang main.

Bagiku, orangtua yang melepas begitu saja anaknya main itu sama halnya dengan merelakan anaknya untuk mengalami kekerasan -dalam bentuk apapun. Sedikit jahat, tapi begitulah kenyataannya.

Karena yang sering terjadi justru orangtua yang mendatangi teman anaknya ketika anaknya pulang ke rumah dalam keadaan menangis atau terluka. Mereka tidak terima perlakuan teman anaknya. Anaknya pulang, mengadu pada orangtuanya, kemudian terjadi keributan antar-orangtua.

Para orangtua ini merasa tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu, meski disaat yang bersamaan, mereka tidak ada ketika anaknya bermain.

Biasanya. Bisa saja aku keliru. Mungkin itu yang sering aku lihat, berbeda dengan di tempat lain: di mana dunia sudah memberikan tempat yang layak dan baik untuk anaknya bermain dengan damai dan penuh canda-tawa.

***

Semakin sering anak-anak yang main di lapangan ketika aku, lewat Perpustakaan Teras Baca, pernah mendapat bantuan dari Pemda saat tempatku ingin dijadikan kawasan percontohan layak anak. Barangkali ada yang ingat program tersebut?

Jadi dulu, ketika aku dan teman-temanku baru membangun Teras Baca, aku dipanggil oleh Pak RW. Katanya di sana mau dijadikan kawasan layak anak. Lalu, aku diajak untuk mendapat arahan serta apa saja yang mesti diperiapakan untuk itu. Aku setuju.

Bantuan dari Pemda datang, termasuk peralatan bermain anak yang kerap kita lihat di Taman Kanak-kanak. Perosotan, ayunan, dan lain sebagainya.

Semua mainan kupasang. Anak-anak makin ramai yang memainkan. Semakin banyak anak-anak yang main, maka semakin besar juga peluang untuk mereka saling berantem.

Jika aku sedang kebagian jaga perpus, ada saja anak kecil yang nangis karena tidak kebagian main atau mainan di sana dikuasai oleh anak kecil yang lebih tua usianya. Lama-lama, dari tempat main malah jadi tempat anak-anak menangis.

Faktanya: setiap kali ada anak yang menangis, tidak pernah ada orantuanya -atau keluarga- yang menemani.

Jadi, kalau orangtuanya saja tidak peduli, maka urusanku apa? Adakah tanggungjawab atau kewajibanku untuk mempedulikan anak-anak mereka?

Sayangnya, setiap kali aku didatangi oleh orangtua yang anaknya merasa disakiti ketika main, ketika kutanyakan itu, mereka tidak ada yang bisa menjawab.

Tante Gopek tidak pernah begitu. Kalau anaknya nangis ketika sedang main, dia tidak menyalahkanku meski ia tahu aku ada di situ. Tante Gopek pasti akan marah-marah pada teman-teman anaknya.

Tapi, teman-teman anaknya tahu, yang marah padanya itu Tante Gopek. Bukannya takut, mereka justru akan berbalik ngeledekin sambil tertawa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun