Kadang ia malah meracau sendiri. Tidak ada yang ia ajak bicara atau mengajaknya bicara. Sambil duduk di panggung dekat lapangan, mengenakan kaos hijau bertuliskan "greenlight", ia teriak marah-marah.
Pernah satu kali ketika aku sedang main basket sama peang, uang kembalian beli air mineral aku letakan di tiang panggung. Aku lihat anaknya Tante Gopek duduk di sana. Tidak lama, ia tidak ada begitu juga dengan uangku.
Aku tanya anak-anak kecil yang sedang main di sekitar lapangan, tapi tidak ada yang lihat. Lewat jalur naga, aku datangi rumahnya. Tante Gopek sedang makan di teras menyuapi anaknya. Aku tanya baik-baik, ia tidak mengakuinya. Masih kutanya baik-baik, Tante Gopek justru memarahiku, membela anaknya.
Mungkin karena mendengar keributan di luar, anaknya yang pertama keluar. Ia terus memaksa adiknya untuk mengakui. Adiknya masih menjawab dengan "tidak tahu, bukan aku... tidak tahu, bukan aku."
Ketakutan itu berujud, meski tidak terbentuk. Jadi aku tahu kalau kakaknya takut terjadi apa-apa. Kakaknya tahu siapa aku.
Tak lama adiknya berdiri. Dari celana dalam yang ia lipat ke dalam, ia keluarkan uangku. Tanpa kuhitung, aku lekas pergi.
***
Lapangan memang tempat bermainnya anak-anak. Bahkan ketika aku kelas 5 SD, guruku selalu bilang ketika kami sedang ribut-bercanda di kelas: kalau mau main di lapangan sana!
Untuk itulah, lapangan jadi arena bermain anak tanpa aturan. Mereka bebas melakukan apapun di sana. Berteriak, bertengkar, hingga tertawa terbahak-bahak. Bebas. Satu-satunya aturan yang mereka sepakati: tidak boleh ada yang sakit hati. Makanya sekesal apapun anak-anak, tidak pernah ada dendam di antara mereka.
Sayangnya selalu ada yang terlupakan: orangtua yang mengawasi anaknya bermain. Mereka tidak perlu mengatur atau melarang, cukup hadir, ada di dekatnya, ketika sedang main.
Bagiku, orangtua yang melepas begitu saja anaknya main itu sama halnya dengan merelakan anaknya untuk mengalami kekerasan -dalam bentuk apapun. Sedikit jahat, tapi begitulah kenyataannya.