Bahkan, pada satu titik, aku bosan. Aku mengakui, aku pernah menulisnya kok. Aku tanggungjawab atas itu. Baca saja kalau minat. Aku tidak ingin (lagi) mengulangnya.
Bayangkan saja: hampir pada diskusi-diskusi tentang puisi yang pernah aku datangi, lagi-lagi puisi "Aku Ingin" yang dibahas. Mbah Tedjo juga pernah menyentil sedikit puisi tersebut ketika ia jadi pembicara di TedEx Bandupng.
Sekali lagi, puisi liris Sapardi bukan biasa saja lho yha. Sudah begitu, katanya, dia (Sapardi) juga tidak punya pemahaman akan form puisi.
Entah, kalimat tersebut bisa muncul dari mana? Apakah dari seminar atau workshop yang Sapardi pernah berikan? Diskusi sastra mengenai puisi?
Sampai pada titik tertentu, sepengetahuanku, jarang ada penyair atau penulis atau seniman sekalipun, mau membongkar secara terbuka mengenai proses kreatifnya. Kalaupun ada dan percaya, itu... orang polos betul.
Satu-satunya cara, yang sampai sekarang masih kulakukan, ketika mencari proses kreatif mereka yha dari buku-buku yang dibaca. Buku-buku yang kemudian mengganggunya untuk kemudian membuat kritik dan/atau membuat sekadar resensi. Atau, baragkali, refleksi atas buku bacaannya tersebut.
Jadi, kalau menyambung cuitannya tadi, apakah keliru belajar puisi dari Sapardi? That's the best dark jokes ever i have seen in this decade~
kuingin belajar ke mba putri marino aja, deh. *brb ke toko buku* pic.twitter.com/T53n3x8Pct— Kangmas Harry (@_HarRam) January 8, 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI