Kok bisa, seperti tiba-tiba berasumsi, kalau Ivan Lanin ini bukanlah seorang ahli bahasa?
Wajar, sih. Dan biasa saja memang. Akan tetapi justru menjadi menarik ketika kesimpulan atas asumsinya tersebut, barangkali, berangkat dari ungkapan orang kebanyakan.
Begini, maksudnya, ketika Ivan Lanin menasbihkan akun Twitter miliknya untuk membagikan ide dan gagasan mengenai pengetahuan, wawasan, dan ilmu --mungkin-- kepada pengguna lain, lalu ia sekalian menjawab segala keresahan dan pertanyaan orang-orang tentang Bahasa Indonesia maka ia dianggap ahli.
Dianggap ahli. Lagipula poin masnya tentang ahli dari utas yang ia sampaikan ada benarnya.
Akan tetapi mengagap seseorang ahli dari anggapan orang lain itu juga sama kelirunya. Toh, alih-alih ada diskusi menarik --sebut sajaTwitwor, kalau di Twitter-- akan itu, justru tanggapan Ivan Lanin lempeng saja: Bio saya memang "pencinta", bukan "ahli".
Akur yha. Klir. Alias selesai.
Tapi karena utas tersebut, akhirnya jadi iseng-iseng longok akunnya. Dan malah ada cuitan ini: Sapardi puisi lirisnya biasa aja. Dia juga tidak punya pemahaman akan form puisi. Jadi kalau belajar bikin puisi ke Sapardi sepertinya salah alamat.
Sapardi puisi lirisnya biasa aja. Dia juga tidak punya pemahaman akan form puisi. Jadi kalau belajar bikin puisi ke Sapardi sepertinya salah alamat.--- Ahmad Syarifudin (@sasvaratra) January 4, 2020
Duh, kalau ini, bagaimana yha? Ivan Lanin dianggapnya bukan seorang ahli bahasa, boleh saja. Dan memang benar. Tapi cuitan itu... seperti melukai hati dengan sederhana.
Sapardi puisi lirisnya biasa saja. Kalimat tersebut seakan lahir dari seorang laki-laki yang tidak pernah ditagih membacakan puisi pada kekasihnya, tengah malam, lewat telepon. Bahwa kalau tidak membacakan puisi barang satu larik, esok paginya akan diancam putus.
Puisi lirisnya biasa saja. Kalau yang dianggap itu puisi "Aku Ingin", yang masterpiece itu, mungkin aku bisa terima. Meski bukan "biasa saja" juga, sih. Puisi tersebut, menurutku, sudah terlampau melewati batas.