"Bantu naon sateh?"
"Tadi sore pedagang-pedangan sepanjang jalan ini diberi surat supaya tidak lagi berjualan di trotoar. Malam ini masih dikasih kesempatan buat beres-beres,"
"Terus?" tanyaku lagi.
"Mun teu hayang, dibongkar isukan."
Aku ambil surat itu. Aku baca. Aku tidak tahu ketika itu aku bisa membantu apa. Aku melihat sekeliling. Gerobak dan lapak-lapak itu dibersihkan. Dagangan dirapihkan.
Sambil mencari celah, aku tanya lagi ke pemilik warung kopi dadakan itu, "tapi yang dagang di pasar, yang sampai di jalan-jalan itu, tetep dibolehin dagang?"
"Sarua, mang, teu dibolehkeun."
Aku pesan kopi sambil mendengar mereka yang saling membela diri. Dari penjual hingga tukang parkir yang ada bersamaku di warung kopi itu. Meski aku tahu, pada akhirnya semua itu tidak mengubah apa-apa.
Dari semua yang diributkan, ada satu yang aku dengar: katanya, dulu, sebelum ada yang di trotoar ini sering ada pencurian dan segala macamnya. Tapi, setelah ada mereka, hal-hal yang tidak diinginkan tadi perlahan menurun.
Secara tidak langsung, pikirku, mereka dagang bisa sekalian menjaga lingkungan tersebut.
Besok paginya. Ketika aku hendak pulang, tak ada satupun pedagang yang berjualan seperti biasanya. Jalanan lenggang. Lancar. Sejauh mata memandang, di ujung jalan, petugas kebersihan duduk-duduk sambil memegang sapu yang tidak digunakan itu.