Ada kekaguman sekaligus pertanyaan-pertanyaan --yang mungkin baru bisa ditanyakan kalau ketemu orangnya langsung-- seperti jenis novel Srimenanti. Apa itu novel realis atau surealis? Apakah pembaca kita --secara umum-- sudah siap dengan novel semacam itu? Seorang penyair memang bisa bermain dengan kata --konon seperti itulah mereka merawat kata-- tapi pembaca tidak, bukan?
Apa yang lantas membuatku, paling tidak, mengajukan pertanyaan seperti itu? Tentu ini bersinggungan dengan bagaimana JokPin menulis cerita.
Bisakah kamu membayangkan ketika JokPin berhasil bertamu ke rumah Sapardi lalu "Kopi saya terima dengan takzim. Saya dan kopi tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih haus. Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa yang lebih pahit."
Itu belum apa-apa. Masih ada bagian di mana JokPin menghadiahkan kado untuk Sapardi. "Saya ulurkan sebuah botol berisi hujan bercampur senja."
Tapi, menurutku, tak ada yang lebih menggelitik saat pertemuan dengan Aan Mansyur.
10/
Benar. Aku memang membereskan Srimenati sekali duduk. Tapi karena ini novel JokPin, sering juga aku berdiri lalu membuat kopi. Kadang membacanya sambil tiduran. Jadi tidak melulu duduk.
Tidak sampai 150 halaman. Tepatnya novel ini berhenti di halaman ke-138.
Meski tipis, Srimenanti kaya akan gagasan sampai gugatan. Memang ada benarnya novel itu tidak dinilai dari jumlah halamannya.
Walau kini kita mulai diperkenalkan dengan novelet, sebuah istilah untuk mengotakan jenis novel tipis, aku masih tidak begitu peduli. Ini termasuk cerpen. Mau itu ditulis berlembar-lembar, asal memenuhi unsur cerpen, yha tetap saja cerpen. Baca saja cerpen "Dilarang Nyanyi di Kamar Mandi" anggitan Seno Gumita Adjidarma --yang edisi terbarunya. Atau... cerpen "Kukila" pada buku yang berjudul sama karya Aan Mansyur. Keduanya tetap cerpen meski menghabiskan berlembar halaman.
Begitu juga dengan Srimenanti. Ia memiliki gagasan besar dengan beragam peristiwa yang membawa kita pada satu benang merah gagasan tersebut.
Inilah hebatnya JokPin. Tidak seperti novel "Hujan Bulan Juni" yang ditulis Sapardi, novel ini dalam bayanganku seperti orang yang tengah menyatukan 2 (dua) tumpukan kartu menjadi satu. Paham, kan? Bukan dua tumpukan dibuat satu. Tapi lembar demi lembar kartu dari 2 tumpukan itu disatukan dengan cepat hingga menyatu.