Aku ingin pergi dari sana tapi tidak bisa. Aku ingin lari tapi seperti sia-sia, karena rupanya aku tidak ke mana-mana.
Barulah kemudian aku mendengar suara dua benda berbenturan. Kencang. Suara langkah kaki tadi hilang.
8/Â
"Jika ingin lebih menantang, cobalah keluar dari zona aman," kata Kang Emin kepadaku sambil meminjam korek.
Kalau sedang iseng dan usil, pasti aku tanya balik Kang Emin, misalnya, memang batas aman dan menantang itu seperti apa?
Bukan karena tidak ingin tahu dan tidak peduli atas jawaban Kang Emin nanti, tapi malam itu aku memang tidak ingin mendengar apa-apa. Sebab aku juga sudah tahu akan ke mana arahnya. Biasanya dia akan menutup dengan kalimat hapalan: kata orang-orang seperti itu, ikuti saja.
Lagipula diam dan menunggu juga sebuah jalan yang menantang. Setidaknya bagiku. Karena diam atau menunggu juga menantang kesabaran. Bukankah banyak yang tidak nyaman ketika diam atau menunggu?
9/Â
Ternyata aku tertidur. Aku lihat jam, tidak sampai lima menit rupanya. Tapi kenapa bisa begitu banyak yang aku pikirkan dan rasakan tadi?
Suara benturan tadi. Korek yang dipinjam Kang Emin. Apa? Apa artinya semua itu?
Tetapi kamu belum juga datang.
10/Â
Mata itu masih sama seperti terakhir kita bertemu. Seperti ada banyak kisah yang terekam di sana dan ingin segera kamu ceritakan.
Kamu memegang tanganku. Sambil berjalan keluar stasiun ada yang kamu katakan dari balik maskermu. Aku tidak begitu jelas mendengarnya.