Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tirai Warteg Itu Tirai Kehidupan

30 November 2018   05:05 Diperbarui: 30 November 2018   10:21 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesempatan tersebut, katanya, dimanfaatkan oleh warga Tegal yang bermigrasi dari tempat asalnya ke Jakarta.

"Mereka saat itu kebanyakan bekerja sebagai buruh bangunan dan tinggal di lokasi proyek dengan membuat bedeng," lanjutnya.

Barulah ketika disela kesibukan para pekerja bangunan tersebut, sebagian istri memulai bisnis kuliner di sekitar lokasi proyek. Nasi ponggol, begitu dulu mereka menyebutnya. Isinya cukup sederhana: nasi yang dibungkus dengan daun pisang bertemankan lauk sambal tahu dan tempe.

"Menu itu merupakan makanan khas Tegal yang sudah turun-temurun dan diperkirakan sudah ada sejak setengah abad lalu," kata Asnawi, menambahkan.

Nasi ponggol diperkirakan adalah cikal-bakal Warteg itu sendiri. Sebab, fokusnya ketika itu adalah makanan yang mengenyangkan dan murah. Tidak lebih. Maka dari itu, nasi ponggol menjadi favorit para pekerja proyek bangunan yang pekerjaannya menguras keringat.  

Ini seakan mengidentifikasikan laiknya Jeffrey M. Pilcher dalam bukunya Food in World History tentang sejarah terbentuknya kebiasaan makan manusia. Dua di antaranya yaitu (1) berkembangnya perbedaan kelas seiring distribusi makanan yang dijadikan simbol kemakmuran. Dan, (2) terkait dengan bentuk-bentuk identitas sosial yang juga turut andil dalam pembentukan kebiasaan makan.

Pembagian kelas ini pula yang, barangkali, menjadikan Warteg diisi oleh banyak kelompok itu. Dan baiknya, Warteg terbantu hubungan antar-kelompok yang kelak memunculkan identitas komunal.

Nasi ponggol diperkirakan adalah cikal-bakal Warteg: nasi yang dibungkus dengan daun pisang bertemankan lauk sambal tahu dan tempe.

Kemudian negara hadir. Pembentukan budaya makan yang sudah puluhan tahun terbentuk dari kelas pekerja ini, lalu negara memosisikan diri untuk menentukan produksi dan pengindustian. Tentu topik rumah makan akan dikenakan pajak oleh pemerintah (khususnya Jakarta) kembali segar dalam ingatan. Bagimana mungkin dengan dasar pemikiran manejemen buruk, membuat rumah makan mesti dikenakan pajak?

Ketika wacana tersebut ramai diperbincangkan, Ajie Marzuki Adnan membuat catatan yang patut disimak: Pajak Warteg dan Karakteristik Penjajah.

Dalam catatan itu, Ajie Marzuki Adnan membandingkan atas apa yang dulu pernah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Mulai dari pajak panen, pajak penjualan hasil panen, pajak penghasilan (untuk ambtenaar/pegawai negeri) dan berbagai macam pajak lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun