Satu sore aku menjemput peang ke sekolahnya. Karena (1) aku sedang libur dan (2) sore itu sepertinya ingin turun hujan; langit amat mendung. Tiba-tiba aku kaget, sesampai di depan ruang kelasnya peang, di dekat jendela kelasnya ada papan peringatan bertuliskan: orangtua tidak boleh menunggu di depan kelas.
Aku baru tahu ada itu. Tadinya aku ingin kembali ke parkiran atau melipir ke kantin beli cakwe. Eh, aku baru sadar: aku kan kakaknya!
Duduklah aku di bangku permanen yang terbuat dari semen, tepat di depan ruang kelas dan dekat tempat sampah. Bau sekali memang, tapi tidak apa-apa pikirku. Setidaknya yha, daripada menunggunya di luar dan ini sudah sore, nanti ketemu mantan pulang kerja gimana? Kalau tiba-tiba baper gimana? Kalau tiba-tiba aku ngajak dia balikan gimana?
Yha. Jadi aku duduk di dekat tempat sampah pun aku terima. Jujur, aku tidak siap dengan segala risikonya kalau sampai ketemu mantan saat itu juga.
Baca:Â Ibu-ibu yang membantu anaknya agar supaya pulang cepat!
Sore itu sepertinya hanya kelas 3 dan 4 yang masih ada di sekolah. Jadi jumlahnya paling sekitar 5 sampai 6 kelas. Tapi, yha, tetap lumayan berisik.
Melihat papan pengumuman tadi, aku jadi ingat, satu waktu aku pernah memprotes kebijakan sekolahnya peang yang membiarkan orangtua dan/atau wali murid yang bisa keluar-masuk kelas dengan bebas --maksudnya saat-saat waktu pulang.
Meskipun mereka-mereka ini terbilang Mamih-Muda-Yang-Menggoda, entah kenapa aku jadi sedikit ilfill melihatnya.
Beberapa murid dari kelas lain ada yang sudah pulang. Berlarian dan ramai di lapangan. Ada yang bercanda, ada yang mengusili teman lainnya, ada yang lagi dicomblangin malahan. Kenakalan anak-anak di era infomatika seperti ini, pedahal, ternyata masih sama ketika aku seusia mereka. Zaman boleh berubah, kenakalan abadi~
Tadinya aku ingin mengintip ke dalam ruang kelasnya peang lewat jendela. Sekadar ingin tahu saja (1) sedang belajar apa, lalu (2) masih lumayan lama atau tidak? Tapi niat itu aku urungkan, aku tidak ingin mengganggu proses belajar-mengajar peang di sekolah. Biarlah itu jadi hak prerogtif gurunya --yang masih merangkap wali kelas dan guru mata pelajaran lainnya, kecuali komputer, agama, dan olahraga.
Satu-per-satu murid keluar dari kelas lain. Aku masih duduk di bangku permanen dan sesekali mendengar apa yang sedang gurunya peang terangkan dari dalam kelas. Sekilas terdengar sedang membahas sebuah cerita. Entah apa tepatnya.