Sebagai orang yang tidak suka jalan-jalan, bepergian, dan bertemu banyak orang, lalu diminta menulis laporan saat dinas luar kota, aku tidak tahu mesti mulai dari mana?
Satu-satunya catatan perjalanan yang aku tahu dan suka sekali, adalah tulisan yang dibuat Seno Gumira Ajidarma: Trevelogue. Yha. Itu cerpen. Sesuatu yang fiktif. Aku cari-cari kembali cerpen itu ditumpukan kliping Cerpen Kompas di Perpustakaan Teras Baca. Aku baca ulang dengan niat bisa memahami: bagaimana cara menulis catatan perjalanan yang baik.
Namun, ada yang aku (selalu) lupa: setiap kali membaca tulisan Seno, aku selalu ingin meracau. Memgumpat pada apapun. Tulisannya terlalu baik untuk dibaca, seakan tidak memberi ruang untuk penulis lain menulis hal serupa.
Kemudian petunjuk itu datang....
Dengan mencari dengan kata kunci seperti judul cerpen Seno --Trevelogue-- akhirnya aku dipertemukan dengan sebuah esai panjang perjalanan --dalam bahasa inggris, tentu saja. Dengan bantuan google translate aku salin-tempel esai itu utuh. Aku baca ulang. Dan aku, untuk kali pertama, bertemu dengan V.S. Naipaul.
***
"Penulis perjalanan tidak hanya melihat dan mendeskripsikan tempat, ia (seorang penulis perjalanan tersebut) juga menulis manusia-manusianya," kata V.S. Naipaul, ketika diwawancara oleh New York Times atas bukunya A Turn in the South.
Buku yang, katanya, ditulis setelah V.S. Naipaul lelah menulis sastra. Juga berkelahi. Dan menikmati setiap permusuhan yang ia buat lewat karya-karyanya. Bisa dibilang, V.S. Naipaul adalah orang paling menyebalkan dengan kamampuan (menulis) yang luar biasa.
Bahkan penulis asal Turki, Orhan Pamuk, menganggap karya-karya V.S. Naipaul sebagai " (karya yang) tidak dengan realisme gaib yang manis tetapi dengan iblis-iblis mereka, kelakuan buruk dan kengerian mereka --yang membuat mereka kurang menjadi korban dan lebih manusiawi."
Lahir di sebuah negara miskin di pedesaan yang jauh lebih miskin di Trinidad pada 17 Agustus 1932, membuat V.S. Naipaul dibesarkan dengan karya-karya sastra kelas dunia. Ayahnya, Seepersad, adalah seorang jurnalis untuk Guardian Trinidad yang memuja Shakespeare dan Dickens.
Sejak kecil, kata Ayahnya dulu, sudah berambisi menjadi penulis besar.
"Ambisi yang membara untuk menulis fantasi para bangsawan dan kepanikan-kepanikan sebuah kegagalan," ujar Ayahnya.
Bukan sekadar membuat pembenaran terhadap V.S Naipaul untuk mengapa ia bisa sebegitu menyebalkan dan dibenci, tapi sekaligus dikagumi. Semasa muda, V.S. Naipaul dirawat oleh kakek-neneknya yang adalah buruh. Dibesarkan sebagai seorang Hindu dan menjadi bagian terbesar dari komunitas --pengungsi dalam masyarakat perkebunan. Sejarah panjang, adat dan istiadat, juga identitas etnis itulah yang membentuk karya-karya.
Hampir di setiap karya fiksinya selalu bernafaskan ironi, tragedi dan penderitaan umat manusia.
Sampai-sampai beberapa kritikus menganggap karya-karya V.S. Naipaul adalah kejujuran yang kejam. Sesuatu yang menakutkan. V. S. Naipaul bahkan selalu dikotakan sebagai penulis yang menolak untuk menggagungkan atau mengidealkan dunia (negara-negara) berkembang.
Tulisannya mengganggu. Kritiknya keras untuk segala hal ketidakteraturan. Sempat pada sebuah wawancara V.S. Naipaul mengatakan, ketika saya membaca tulisan dan, baru satu-dua paragraf, saya tahu itu ditulis perempuan atau bukan.
"Saya pikir, (mereka --perempuan) tidak setara dengan saya. Perempuan itu sempit dan terlalu sentimental," lanjutnya kemudian.
***
Kesepian dan kesendirian, rasa-rasanya, yang membuat V.S. Naipaul begitu angkuh --jika tidak ingin menyebutnya arogan-- pada kritik maupun karya-karyanya. Bahkan satu waktu V.S. Naipaul berusaha untuk bunuh diri ketika ia telah mendapat beasiswa di Universitas Oxford.
Kesepian dan kesendirian itu yang kemudian melahirkan 3 (tiga) seri buku yang ditulis berdasarkan pengalaman masa kecilnya. Ketiga buku tersebut diterbitkan secara beruntun di kota asalnya. The Mystic Masseur (1957), The Suffrage of Elvira (1958) dan Miguel Street (1959).
Ia pergi dari satu negara ke negara lain. Dari Spanyol sampai Inggris. Namun, ketika menetap di London, V.S. Naipaul mendapat kabar duka: Ayahnya meninggal dunia.
Kesedihan itu ia gambarkan dengan sebuah surat yang kemudian diterbitkannya sendiri pada 1999: Letters Between a Father and a Son.
Kali ini aku sebagai seorang penulis yang bercita-cita tinggi. "Aku menjadi flatku, mejaku, namaku," tulisnya dalam sebuah surat korespondensinya tersebut.
***
Menjelajahi dunia, menemui banyak orang di banyak tempat, justru membuat V.S. Naipaul menulis beberapa buku catatan perjalanan. Nafasnya selalu sama: sinisme yang tidak berkesudahan tentang manusia.
Saat perjalanan ke India, misalnya, ia menulis An Area of Darkness (1964). V.S. Naipaul merasa kesal terhadap orang barat yang mencari sub-benua untuk kebangkitan spiritual. Tanah India, baginya, tak ayal tanah spiritual terbesar yang ada di dunia.
Dari sekian banyak bukunya --baik fiksi maupun catatan perjalanannya-- akhirnya ia menerima Penghargaan Nobel bidang Sastra pada 2001. Tulisan-tulisan V.S. Naipaul dianggap mampu mengubah dunia yang penuh kegelapan menjadi sebuah ketepatan.
Entah apa maksudnya.
Sebab, pasca memenangkan penghargaan, ia makin sulit diwawancarai. Sampai banyak wartawan menganggapnya kalau V.S. Naipaul membenci mereka.
Yang jelas, V.S. Naipaul selalu berupaya segala hal keputusasaan. Ia selalu menentang lewat karya-karya fiksi untuk menggambarkan realitas --sesuatu yang nyata dalam dunia modernitas seperti sekarang.
Sayang, pada 11 Agustus 2018, V.S. Naipaul meninggal. Meninggalkan kita dan segala permasalahan terhadap tempat-tempat yang ditinggali manusia. Keindahan tempat wisata, yang baginya, hanya ilusi semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H