Empat warteg andalan masih tutup. Motor kembali saya kebut. Lampu merah saya lewati. Tidak ada polisi. Terus. Lurus. Kanan dan kiri jalan saya perhatikan dengan saksama, tidak boleh ada warteg buka yang terlewat dari mata.
Aha! Warteg Sederhana, begitu tulisan di kacanya. Sebelahnya juga buka Rumah Makan Padang. Ah, masa ketemunya daging lagi. Saya kepalang rindu orek tempe, telor dadar dan kuah sayur tahu. Dan sambel yang sebenarnya cuma berwarna merah saja.
Ada seorang bapak yang khusu dengan sarapannya. Seorang wanita muda, berjilbab, menyapa saya dengan ramah: makan di sini atau dibungkus?
Ah! Betapa indah betul pertanyaan itu. Di sini, kata saya. Etalase saya skrining. Isinya ayam dan daging sapi. Entah itu diopor, direndang sampai dibalado.
"Telornya ada?" tanya saya.
"Habis," jawabnya.
"Orek?"
"Sama," lebih singkat jawabnya.
Tumis kangkung dan udang balado. Akhirnya itu yang menjadi pilihan saya. Es tawar saja, kata saya, ketika ditanya ingin minum apa.
Ternyata dari pagi sudah ramai. Sop-sopan (sayur sop, maksudnya) bahkan habis lebih dulu. Telur dan orek tempe menyusul kemudian.
"Sama, pada beli lauknya doang," kata penjaga warung.