Tilaria Padika benar: lebaran hari kedua akan tanpa ketupat opor ayam. Meski di rumah Gomah tidak memasak opor ayam, tentu saja, karena saya yang tidak suka, tapi kudapan lainnya sudah ludes sejak hari pertama lebaran.
Ketupat, sayur godog pepaya, daging asam-manis, rendang dan usus-ati-ampela --yang entah namanya apa-- sehingga berwarna hitam sudah Gomah masak sejak subuh hari terakhir puasa. Buka puasa pun akhirnya tidak lagi dengan gorengan, tapi yang Gomah masak tadi.
Ewok dan Buluk juga sempat mencoba. Meski sedikit karena... mungkin malu karena siangnya tidak puasa. Tidak tahu juga. Tapi saya, dengan penuh lahap, menuntaskan sepiring ketupat, sayur godog dan usus tadi. Kenyang dan pedas.
Tinggal menunggu keputusan sidang isbat, semua masakan Gomah tinggal dibagikan ke tetangga. Sudah menjadi kebiasaan: setiap lebaran Gomah akan bagi-bagi masakan.
Namun romantika ketupat hanya bertahan di hari pertama lebaran. Malam. Besoknya semua sudah ludes. Tidak menyisakan barang satu potong ketupatpun di meja makan. Untunglah Richeese tetap buka. Maka terselamatkan perut kami sekeluarga.
***
Peang berlibur ke Bandung. Juga Gopah, Gomah dan Gomba. Ditinggalnya saya sendiri di rumah karena mesti kerja --walau dari rumah. Lemari makanan tertinggal mi instan dalam banyak bentuk: yang di gelas, yang direbus dan yang sangat pedas.
Matahari terasa begitu terik. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi pedahal. Tidak ada siapa-siapa di rumah, kecuali saya, tentu saja. Kemudian ada tamu yang datang: lapar.
Tidak mandi tidak apa-apa. Lapar tidak mewajibkan itu. Saya keluar mencari warteg yang buka. Tidak ada.
*warteg not found*--- Kangmas Harry (@_HarRam) June 17, 2018
Saya buka lemari makanan. Sejauh mata memandang hanya mi instan yang tertidur pulas minta dibangunkan. Saya urungkan untuk menyeduhnya. Masa ketemu lagi sama rendang walau dalam wujud mi instan?