1/
Pagi tadi, ketika sarapan, aku lupa tidak menabur boncabe udang level 2 ke mangkuk mi rebus instan. Pantas saja ketika hanya tersisa kuah dan potongan cabe rawit aku tidak ingin mengukup mangkuk itu sampai kuahnya tandas.
Aku ingin meminta maaf pada diriku sendiri: yang nikmat saja bisa terlupa, apalagi melupakanmu?
2/
Musim hujan tahun 2010. Sore hari. Langit gelap. Hujan seperti tidak memberi tanda untuk pergi. Dari tayangan televisi: ketinggian air di Desa Golaligong sudah mencapai atap rumah. Jarak antara Desa Golaligong dengan rumah Arin tidak sampai 3 kilometer. Jika dihitung secara asal: kurang dari 24 jam air itu akan menemui kami. Aku dan Arin, yang terjebak di rumah, sudah sejak 3 hari lalu.
Tidak ada barang yang kami angkut ke loteng. Sebab loteng selalu menakuti Arin setiap malam. Katanya, seperti ada suara dengus nafas yang saling beradu dan diakhiri lolongan yang menakutkan: antara keenakan dan kelelahan. Aku diam. Sambil menunggu air itu datang, aku dan Arin sesekali bermain lempar dadu. Peraturannya: siapa bisa menebang bilangan dadu tersebut, ganjil atau genap, dialah pemenangnya. Dan sebagai hukuman, yang kalah mesti melepas satu pakaian yang dikenakan. Untunglah ketika itu aku memakai berlapis baju sedangkan Arin baru selesai mandi --masih menggunakan pakaian sekenanya.
Hujan semakin deras. Semua jaringan telepon mati. Antara gelisah dan senang: pikiranku mengalir deras ke rumah menemui Rani,n istriku. Sebelum pamit 3 hari lalu, aku izin dinas ke luar kota. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sebelum air itu sampai, aku berjanji pada Arin untuk tidak meninggalkannya. Setelah bermain dadu dan saling beradu badan, Arin teringat suara yang setiap malah menakutinya.
"Aku kenal suara itu," katanya, tapi aku tidak menanggapi. Aku rebah di atas tubuh Arin.
3/
Kami sedang mabuk berat. Tidak ada lagi uang, padahal kami masih merasa kurang. Seorang perempuan lewat. Itu sudah hampir pukul 11 malam. Kami sedang mabuk di ujung gang.