Lampu jalan menyoroti perempauan itu. Aku seperti mengenalinya. Namun, mata terlalu berat untuk bisa menegaskan dengan jelas. Yha. Ia berhenti tepat di bawah lampu jalan itu. Tertunduk. Tak lama perempuan itu menoleh kembali ke arah kami. Lantas berteriak: "perkosalah aku, akan aku bayar berapapun yang kalian mau. Aku tidak ingin menikah dengan laki-laki seperti ...,"
Ada udang dan berlian di balik batu, pikir kami, kala itu.
4/
Korek milik Azmi lupa aku kembalikan. Aku pakai sampai gasnya habis. Azmi tahu itu. Aku yang pura-pura tidak tahu.
5/
Lani, teman kelasku, senang akhirnya bisa lulus. Ia saja tidak percaya, apalagi keluarganya. Dengan kesungguhan yang menawan, Lani berterimakasih padaku. Tidak habisnya ia memeluku, menciumi pipi kiri-kananku.
"Kalau tidak ada kamu, entah akan jadi apa aku sekarang," kata Lani, mengenang kelulusannya waktu itu. Aku senyum-senyum saja. Di sebelahku ada istriku, teman sebangku Lani dulu, yang akhirnya aku nikahi. Satu waktu istriku pernah bercerita kalau ia pun sebenarnya tidak ingin duduk di sebalah Lani. Katanya, hampir setiap waktu Lani cerita tentang teman laki-lakinya --yang umumnya sudah berkeluarga-- selalu memanjakannya seperti anak manis yang penurut.
Dulu, kata isitriku, pernah Lani meminta setiap hari, selama satu bulan, ada yang mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Tentu saja itu ia dapat. Itu manisnya, namun yang menjengkelkan adalah cerita-cerita Lani tentang bagaimana para teman lelakinya itu memerlakukannya di hotel.
"Kamu tahu ketika Lani tidak masuk satu minggu penuh gara-gara kenapa? Ia habis menjahit kembali lobang vaginanya. Dibiayai oleh teman laki-lakinya itu, supaya lebih 'terasa'. Aku tertawa terkekeh ketika mendengar cerita istriku yang begitu semangat bercerita.
"Apa yang lucu?"
"Tidak, tidak," kataku. "Aku hanya membayangkan bagaimana rasanya yang 'tidak terasa' itu ya?" kembali aku tertawa.