"Full Colour, dijual dengan harga minimalis, biar bisa masuk ke target anak sekolah. Tentu saja target begini bikin isi cerita juga disesuaikan dengan pasar," lanjut cuitnya.
Menarik. Kalau saja ini bisa dijalankan, misalnya, pasti "warna" dalam komik bisa berkembang. Tidak melulu tentang kultur populer atau horor saja. Walau ini juga bagus.
Hal ini senada dengan apa yang dialami kesusastraan kita, saya kira. Mulai muncul karya-karya sastra dalam bentuk komik. Novel grafis, kalau boleh meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma. Novel Grafis Mbah Tedjo "Serat Tripama" toh laku-laku saja. Ada pasarnya dan yang terpenting, ada pembacanya.
Bahkan Pepeng saja pernah bilang kalau ia sendiri jenuh dengan genre komik di Indonesia yang melulu tentang humor dan horor. Padahal, katanya, pembaca komik itu majemuk. Kalau selalu disajikan seperti humor dan horor maka tidak berkembang. Pembacanya itu-itu saja.
Penerbit major komik semacam... apa sih? Saya ndak tahu. Elex(?) semestinya, saya setuju dengan cuitan Kang Denny, membuka retail di beberapa kota. Bukan hanya di mini market. Itupun jauh dari jangkauan pembeli di sana. Nyungsep di pojokan. Jika ini bisa diterapkan, hitung-hitungannya pun untung lho. Dan kesulitannya memang tetap sama: promosi. Intinya, mendekatkan komik pada pembaca dulu saya kira cara terbaik.
Tapi ini permasalahan umum, sih. Semua buku, apapun jenisnya, memang begitu. Ada jarak antara buku dan pembaca.
Barangkali satu waktu saya akan mencoba. Lebih dekat, tentu saja, dengan komik. Meski saya tidak tahu: mesti mulai dari mana (atau, apa?) jenis komiknya. Menyingkirkan segala jargon nasionalisme komikus dan mencoba lebih fokus pada cerita dan gambarnya. Bosyeeeen ditawarin nyang nasionalis mulu. Coz the pride lahir dari kualitas, bukan primodial belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H