Kembali saya cari komik-komik di perpus. Semua saya turunkan. Saya pinjam. Tidak ada hari tanpa membaca komik. Meski itu adalah cara membaca yang keliru tentu. Tidak ada satu cerita pun saya nikmati dan ikuti alurnya. Lempeng-lempeng bae. Fokus saya ketika itu: memerhatikan setiap bentuk bunyi.
Bahkan sampai sering saya tanya-tanya Pepeng "Naif". Belio ini, selain penabuh drum, adalah komikus. Komik Naif adalah buatannya. Serta komik-komik lain seperti "Setan Jalanan". Interaksi yang rutin tersebut, lewat obrolan di Twitter, membawa saya satu waktu diajak membuat komik dengannya.
Kaget, tentu saja. Saya diberi waktu untuk menyelesaikan story-board sekitar sebulan. Bisa. Selesai. Cerita tentang kisah Detektif Flamboyan. Gabungan antara Detective Conan dan Sin-chan. Tapi kemudian ada yang saya tidak tahu: membuat story-board komik berbeda dengan novel atau sejenisnya; mesti lengkap dengan gambar. Saat itu juga saya menyerah dan meninggalkan komik jauh-jauh.
Mbikin garis lurus aja masih suka melenceng walau pakai penggaris, malah disuruh gambar. Itu sama sulitnya dengan mengajak mantan balikan.
***
Mungkin tidak sering. Mungkin juga hanya saya yang mengalami. Tapi begini adanya: setiap bazaar buku, komik selalu ada dalam rak khusus (dengan harga-amat-murah) dan tidak tersentuh pembeli.
Tentu bazaar tersebut tidak mengkhususkan komik, tetapi secara jumlah tipis-tipis dengan buku lain. Ketika saya hampiri dan perhatikan, tidak ada komik yang saya kenal. Minimal tahu atau pernah diperbincangkan. Yang pasti didominasi komik-komik Jepang. Beberapa juga ada komik lokal.
Ketidaktahuan saya sudah bisa dipastikan tidak bisa dijadikan barometer. Tapi ketidaktahuan ini membuat saya penasaran. Titik.
Pernah juga mendengar berita kalau komikus-komikus Indonesia bahkan sudah ada yang mendunia. Karyanya diakui industri komik Internasional. Pada titik tertentu saya bingung: mesti bangga atau tidak? Mana mungkin saya bisa membanggakan dari apa yang saya tidak tahu. Namun prestasi tersebut, baik dan buruknya, adalah nilai yang bisa dipegang. Yang jelas, komikus Indonesia berpotensi bersaing dengan industri komik secara global.
Jika diperhatikan dari apa yang Kang Denny cuitkan, mungkin beban tersebut diserahkan kepada penerbit. Dan, bagaimana penerbit bisa merangsang komikus membuat komik sebagaimana pasar butuhkan.
Begini. Misalnya, mengutip seperti yang Kang Denny cuitkan, bikin 10 atau 12 judul reguler dua mingguan yang kemasannya cukup 16 halaman.