Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Seperti Premium kepada Pertalite, Kelak akan Terjadi Pada Euro 4

13 Februari 2018   17:19 Diperbarui: 13 Februari 2018   23:45 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu waktu Kevin pernah membuat catatan menarik tentang pola konsumenisme masyarakat kita terhadap penggunaan premium. Katanya, penggunaan pertalite yang muncul dengan RON dan harga yang serba tanggung ini, posisinya berada di antara Premium dan Pertamax.

Namun, memang demikian akhirnya: kita lebih sering menggunakan bahan bakar Pertalite daripada premium. Bukan karena apa, secara psikologis, antrian Pertalite jauh lebih sedikit dibanding premium. Saya termasuk orang yang tidak suka berlama-lama di pom bensin. Baunya terlalu menyengat. Pusing.

Kemudian, lambat laun saya memikirkan: bagaimana di daerah lain yang, anggaplah sering kesusahan suplay bahan bahar? Apakah antri sudah sebagai budaya yang mereka akrabi?

"penggunaan pertalite yang muncul dengan RON dan harga yang serba tanggung ini, posisinya berada di antara Premium dan Pertamax."

Saya jarang sekali mengalami. Berusaha, lebih tepatnya, untuk menghindari antrian di pom bensin. Jika sudah ada 10 motor mengantri, saya akan putar balik cari pom bensin baru atau mencari eceran sekalian.

Kendala tersebut, yang saya tahu, karena (1) ada wilayah yang belum ada lembaga penyalur khususnya di daerah terpencil/daerah 3T. Jadi, jika ada handai-taulan yang hendak membuka pom bensin sendiri, sungguh membantu. Walau sama-sama kita tahu, (2) Infrastruktur Jalan Darat yang tidak memadai untuk pengiriman BBM sehingga mesti menggunakan armada angkutan laut/udara.

Dan yang terakhir, (3) lembaga penyalur masih dalam jumlah yang sedikit. Tentu dengan begitu kita bisa sama-sama membantu meningkatkan kapasitas penyimpanan lembaga penyalur di wilayah terpencil.

***

Ilustasi: Latief Putra Angga, warga Dasan Tereng, Narmada, Lombok Barat, bersama mobil ramah lingkungan ciptaannya. (Kompas.com/Fitri Rachmawati)
Ilustasi: Latief Putra Angga, warga Dasan Tereng, Narmada, Lombok Barat, bersama mobil ramah lingkungan ciptaannya. (Kompas.com/Fitri Rachmawati)
Jika boleh berandai, dengan analogi yang digunakan Kevin, bisa jadi kita akan mengalami pergeseran penggunaan bahan bakar setelah pertalite: Euro 4, namanya. Tidak akan cepat, tetapi bertahap.

Euro, jika mengutip dari laman pertamina,  merupakan standar emisi kenaraan bermotor di Eropa yang diadopsi di beberapa negara di dunia. EURO mensyaratkan kendaraan harus memiliki kadar gas buang berada di bawah ambang tertentu.

Tidak hanya mesin, penggunaan Euro juga bergantung akan BBM yang telah memenuhi standar. Dalam hal ini batas kandungan sulfut/ppm.

Kini, tengah dikembangkan bagaimana Euro 4 bisa diproduksi massal. Dalam surat Menteri LHK kepada Jokowi, disebutkan bahwa "Pemberlakuan standar Euro 4 bagi kendaraan bermotor roda 4 atau lebih diterapkan untuk kendaraan tipe baru pada tahun 2017 dan tahun 2018 untuk kendaraan yang sedang diproduksi."

Tentu ini baik. Baik untuk lingkungan karena hasil polusi yang dihasilkan tidaklah sebanyak bahan bakar lain. Baik juga karena, pemakaian bahan bakar jadi jauh lebih efisien.

"Pemberlakuan standar Euro 4 bagi kendaraan bermotor roda 4 atau lebih diterapkan untuk kendaraan tipe baru pada tahun 2017 dan tahun 2018 untuk kendaraan yang sedang diproduksi." --isi surat Menteri LHK kepada Presiden RI.

Adapun kendala yang mungkin dihadapi bila Euro 4 ini sudah diproduksi adalah (1) ketersediaan bahan bakar Euro 4 belum merata di Indonesia akan berdampak terganggunya kendaraanitas kendaraan sehingga hak konsumen tidak dapat terpenuhi.

Ini menjadi menambah tugas pemerintah tentu saja. Karena pemasalahan utama di daerah kecil belum tuntas dan/atau sedang dikerjakan. (2) Kondisi kilang dalam negeri belum mampu memproduksi BBM standar Euro 4.

Terakhir, (3) akan adanya penyesuaian standar Euro 4 dengan kebijakan pemerintah tentang penggunaan bahan bakar nabati/ biodiesel sampai 30 porsen.

***

Tapi saya selalu percaya: segala perubahan pasti selalu mengarah kepada kebaikan. Apapun bentuknya. Walau itu sekadar harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun