Satu waktu Kevin pernah membuat catatan menarik tentang pola konsumenisme masyarakat kita terhadap penggunaan premium. Katanya, penggunaan pertalite yang muncul dengan RON dan harga yang serba tanggung ini, posisinya berada di antara Premium dan Pertamax.
Namun, memang demikian akhirnya: kita lebih sering menggunakan bahan bakar Pertalite daripada premium. Bukan karena apa, secara psikologis, antrian Pertalite jauh lebih sedikit dibanding premium. Saya termasuk orang yang tidak suka berlama-lama di pom bensin. Baunya terlalu menyengat. Pusing.
Kemudian, lambat laun saya memikirkan: bagaimana di daerah lain yang, anggaplah sering kesusahan suplay bahan bahar? Apakah antri sudah sebagai budaya yang mereka akrabi?
"penggunaan pertalite yang muncul dengan RON dan harga yang serba tanggung ini, posisinya berada di antara Premium dan Pertamax."
Saya jarang sekali mengalami. Berusaha, lebih tepatnya, untuk menghindari antrian di pom bensin. Jika sudah ada 10 motor mengantri, saya akan putar balik cari pom bensin baru atau mencari eceran sekalian.
Kendala tersebut, yang saya tahu, karena (1) ada wilayah yang belum ada lembaga penyalur khususnya di daerah terpencil/daerah 3T. Jadi, jika ada handai-taulan yang hendak membuka pom bensin sendiri, sungguh membantu. Walau sama-sama kita tahu, (2) Infrastruktur Jalan Darat yang tidak memadai untuk pengiriman BBM sehingga mesti menggunakan armada angkutan laut/udara.
Dan yang terakhir, (3) lembaga penyalur masih dalam jumlah yang sedikit. Tentu dengan begitu kita bisa sama-sama membantu meningkatkan kapasitas penyimpanan lembaga penyalur di wilayah terpencil.
***
Euro, jika mengutip dari laman pertamina, Â merupakan standar emisi kenaraan bermotor di Eropa yang diadopsi di beberapa negara di dunia. EURO mensyaratkan kendaraan harus memiliki kadar gas buang berada di bawah ambang tertentu.
Tidak hanya mesin, penggunaan Euro juga bergantung akan BBM yang telah memenuhi standar. Dalam hal ini batas kandungan sulfut/ppm.