Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Nukilan Fragmen-fragmen yang Sering Kamu Temui di Rumah Sakit

3 Oktober 2017   01:01 Diperbarui: 3 Oktober 2017   04:35 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay/StockSnap)

ADAKAH YANG USAI atau paling tidak bisa selesai di rumah sakit? Bahkan di tiap lorong, bangku-bangku ruang tunggu, sampai loket administrasi tidak hentinya harapan dilafalkan --meski dalam hati. Ketika waktunya tiba, segala yang membuat tubuh lega adalah balasan amin dari Tuhan yang malaikat kirimkan

Coba saja kamu tengok orang-orang yang tertidur di depan ruang operasi. Lihat bawaan mereka: karpet-karpet tipis untuk alas tidur di atas ubin yang dingin, cemilan-cemilan yang entah tidak habisnya sedari siang itu, atau termos air panas yang rembes di bagian tutupnya. Dalam kemungkinan yang tidak menentu, mereka tetap setia menunggu. Kabar baik adalah harapan; sedangkan kabar buruk adalah kepasrahan.

Jiwa yang lelah, badan yang letih bersatu padu. Saling timpal-menimpali pikiran yang akhirnya terkuras. Hanya di rumah sakit semua itu bisa kamu dapati.

ilustrasi (@kulturtava)
ilustrasi (@kulturtava)
Bayangkan, hampir setiap dua jam dokter dan suster hilir-mudik, tempat tidur yang didorong ke sana-ke mari itu keluar-masuk ruangan. Dering telepon dari bagian administrasi seperti jerit orang merenggang kesakitan. Yang sudah pasti memekakan telinga! Sedangkan di tempat farmasi, obat-obat tersimpan rapih dalam rak menunggu ditebus. Hanya satu, aku kira, yang selalu sepi: tempat parkir mobil ambulans. Entah ke mana dan membawa siapa, yang jelas mobil ambulans laiknya kutu loncat. Tidak bisa diam.

***

Seorang kakek yang sarungan berdiri di dekat toilet, tepat di sebelah tangga, melihat linglung ke sekitar. Matanya mencari sesuatu, hatinya seakan diminta sabar menunggu. Cemasnya berkeliaran di ruang bedah. Dari kaca pintu yang kecil sesekali cemasnya melongok ke dalam. Apakah sebentar lagi ia mempunyai cucu?

***

Kamu pernah bertanya: mengapa rumah sakit selalu lebih ramai daripada rumah ibadah? Mendengar itu sontak aku kaget. Sebenarnya ingin tertawa. Mana mungkin menyandingkan sesuatu yang jelas-jelas berbeda segala-galanya. Tapi aku tidak langsung menjawab. Aku diam. Bukan untuk memikirkan jawaban, melainkan untuk yang tadi sudah aku jelaskan: menahan tawa!

"Padahal tempat mengadu adalah Tuhan," lanjutmu. "Gratis. Alias tidak dipungut biaya!"

"Tapi, kan...,"

"Apa?" kamu potong ucapanku.

"Sakit tidak langsung bisa sembuh dengan hanya mengeluh dan meminta pertolongan. Perlu ada tindakan. Nah, di sini tempatnya," jawabku. Kemudian kamu merasa jawaban itu tidak memuaskan. Kamu malah memalingkan wajah. Menegaskan satu-persatu wajah orang yang bisa kamu lihat sekali pandang itu.

Tidakkah kamu sadari: semua sama di hadapan Tuhan, tapi tidak di lobi rumah sakit.

***

LIMA MENIT YANG lalu seorang satpam membantu mendorong seorang anak kecil di kursi roda. Tapi kini seorang satpam itu sudah tergeletak di tempat tidur. Didorong oleh dua orang suster melewati lorong menuju ruang IGD. Serangan jantung tiba-tiba, kata seorang yang tadi melihat satpam itu terjatuh begitu saja.

Aku dan kamu melihatnya dari lantai dua. Memang tidak ada yang bisa diduga di rumah sakit. Pentungan yang biasa terselip di ikat pinggangnya terjatuh. Teman satpam lainnya mengambil pentungan itu. Mendadak di lantai bawah sunyi. Aku mulai merasa pusing. Kepalaku pening. Kamu mengajakku untuk duduk di lantai. Sekadar menenangkan pikiran. Bukan. Aku bukan sedang memikirkan sesuatu. Tidak. Aku hanya tidak percaya saja pada apa yang baru aku lihat barusan.

Aroma obat-obatan yang menyengat hidung malah membuatku terasa sedikit mual. Obat-obatan itu seperti pengharum ruangan.

Dua puluh menit kemudian, isak tangis terdengar dari lantai bawah. Aku yang masih duduk-duduk di lantai menoleh. Satpam yang tadi masuk ruang IGD tutup usia. Satpam lainnya yang menunggu di luar ruangan saling memeluk. Airmata tumpah di masing-masing pundak seragam mereka.

Tiba-tiba tanganmu sudah erat memeluk lengan kiriku. Kepalamu bersandar di pundakku. Kematian memang begitu mengharukan.

***

YANG MENYEBALKAN KETIKA malam di rumah sakit adalah lampu penerang dimatikan. Jika kamu coba susuri lorong rumah sakit seperti tak berujung. Sambil membayangkan setitik cahaya yang terlihat bukanlah pertemuan kita dengan malaikat pencabut nyawa.

Tapi malam tetaplah malam. Galap dan sepi. Aku beranikan diri sekuatnya melewati lorong demi lorong hingga akhirnya keluar. Mencari warung kopi yang masih buka dan memesannya segelas. Rokok di saku celana aku keluarkan. Aku lihat ke langit: bulannya kecil, tapi menerangi hitam yang terhampar luas di sana.

Sewaktu kecil aku percaya kalau Santa keluar dari bulan. Makanya ketika tengah malam aku sering menunggunya di pekarangan rumah dan mendapat hadiah. Sayang, tak sekalipun itu pernah terjadi. Tapi, anehnya, sampai sekarang aku masih percaya hal-hal semacam itu. Dan kini, di taman-yang-tidak-mirip-dengan-taman rumah sakit, aku kembali menunggu Santa datang. Tidak untuk mendapat hadiah mainan, melainkan kesembuhan semua pasien yang tengah istirahat di rumah sakit ini. Semoga saja. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun