Yha. Liga Champions telah dimulai dini hari pagi tadi. Beberapa tim unggulan (baca: kesayangan) telah bertanding dengan gagah dan penuh suka cita. Dua malam berturut-turut. Dan, kita akan mulai terbiasa melihat mata-mata kantuk pada rabu dan kamis pagi.
Orang-orang kembali siap begadang demi menunggu sepakmula dimulai, tapi malah ketiduran saat komentator dan kuis-kuis apalah itu. Ada juga malah yang memamang alarm agar supaya bisa bangun.Â
Namun yang sering terjadi malah seperti ini: kamu berhasil bangun, alarm kamu matikan, tapi karena raga dan nyawa belum sepenuhnya bersatu, akhirnya kamu ngulet di tempat tidur dan ketiduran lagi; pagi harinya kamu kembali terbangun dan sejadi-jadinya mengumpat diri sendiri.Â
Atau, pernah juga ada yang membayangkan laiknya ini: surga itu menonton Liga Champions sambil makan mie rebus dengan telor dan cebe rawit yang diiris.Â
Semua itu berlebihan. Apa kamu tahu ada yang kalian tidak sadari saat gegap-gempita Liga Champions dimulai? Tidak ikutnya Arsenal. Betul. Itu fakta; wow fakta, faktanya wow.
Bukan ingin kembali melihat masa lalu. Dan selalu itu yang dibangga-banggakan tim-itu. Namun kenyataanlah yang akhirnya bicara: selama 20 tahun Arsenal ikut ambil bagian dalam gelaran Liga Champions, secara berturut-turut, tanpa sekalipun absen, musim ini mesti merelakan tempatnya diisi oleh tim Inggris lainnya.Â
Tidak apa-apa. Wajar. Memang ada tim dari dataran Inggris mampu menyamai rekor Arsenal macem begitu? Halah, macam betul saja.
***
Yha. Musim ini Arsenal tidak ikut Liga Champions. Mengakhiri musim di peringkat 5 (lima), sedangkan Man. United yang posisinya tepat di bawah Arsenal bisa mengikuti Liga Champons --setelah sebelumnya masuk babak play-off dahulu-- karena menjadi jawara Liga Europa. Lucu memang Liga Inggris itu. Bahkan 2 (dua) musim lalu, Leicester City yang menjadi juara setelah musim sebelumnya terpeleset ke zona degradasi. Dan musim ini Leicester City hanya disibuki kompetisi lokal saja.
Man. City, Spurs, Liverpool dan Chelsea adalah tim-tim wakil Inggris bersama Man. United di Liga Champions. Perwakilan terbanyak: 5!
Real Madrid, Barcelona dan Atl. Madrid dari Spanyol. Oia, bersama Sevilla juga. Mereka berhasil mesuk lewat jalur play-off. Keempat tim ini tersebar di masing-masing grup yang tidak terlalu berat. Hanya saja, entah mengapa, setelah babak penyisihan, tim-tim dari Spanyol kerap bertemu. Sudah saling menyingkirkan sejak awal. Apes!
Juventus, Napoli dan AS. Roma dari Italia. Tentu harapan saya besar pada Napoli. Secara, materi pemain dan kedalaman tim kiranya sudah cukup mengantarkan mereka lolos fase grup. Selebihnya mungkin mesti diselingi doa yang tulus nan-ehlas. Dan jika Juventus berani memangkucadangkan Buffon, sepertinya ada setitik cerah untuk mereka kembali berlaga di final Liga Champions. Tidak tega rasanya melihat Buffon melulu mengambil bola dari gawangnya.
Apa lagi? Bayern Munchen dan Dortmund dari Jerman? Haduuuuh..., kedua tim penguasa itu sedang dalam krisis yang membingungkan. Satu sisi, timnas Jerman tampil perkasa hampir di setiap gelaran kejuaran; sedangkan tim-tim perwakilan Jerman malah perlahan redup. Sebuah paradoks memang, tapi begitulah sepakbola. Sepertinya dari kedua tim penguasa Bundes Liga itu sudah mulai mengurangi porsi pemain mereka yang asli Jerman. Atau, bisa jadi ini bukan paradoks, melainkan kualat! Eh, negara-negara maju percaya hal-hal yang klenik, kah?
Selebihnya, yha, tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat, mereka akan menjadi pelengkap yang (semoga) membuat Liga Champions ini tetap kompetitif. Seperti sewaktu ada Arsenal di Liga Champions.
***
Hanya tim sekelas Arsenal yang sudah susah payah musim lalu menghindari posisi kedua pada fase grup agar supaya bertemu tim-yang-itu-itu-melulu (baca: Munchen dan Barcelona dan sekali-kali bertemu Dortmund; itu juga kalau tidak satu grup), tapi takdir yang akhirnya menetukan. Lolos ke fase grup sebagai juara, sedang dari grup sebelah, ternyata hanya di posisi dua. Arsenal kembali bertemu dan kembali kalah.
Hanya tim sekelas Arsenal yang dua musim lalu hampir tidak lolos di fase grup, tapi mampu melakukan come-back is real kala bisa mengalahkan Bayern Munchen. Setelah lolos, bertemu Barcelona. Gugur lagi.
Hanya tim sekelas Arsenal yang mampu konsisten lolos masuk Liga Champions dan itu prestasi. Sedangkan kalau gugur di babak kedua, boleh lha menuduh itu ulah para mafia judi. Atau, jika berlebihan, anggaplah Arsenal itu tokoh favorit produser dalam sebuah film berjudul "Liga Champions". Kehadirannya diperlukan guna menggaet sponsor dan penonton.
***
Sudahlah. Selamat menikmati Liga Champions yang hambar tanpa Arsenal. Jika yang belum terbiasa bangun rabu dan kamis dini hari tidak perlu dipaksakan. Kasihan badan. Apalagi jika terbiasa bangun malam jumat. Ikuti saja. Seperti saya yang akan memulai membiasakan diri menonton Arsenal di sana.
Pada akhirnya hidup memang seperti puisi: harapan adalah keinginan yang tidak mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H