Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membayar Janji untuk Peang saat Naik Kelas

15 Juni 2017   21:56 Diperbarui: 16 Juni 2017   14:45 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hasil2 ulangan peang. (dokumetasi pribadi)

Sesampainya di rumah, baru 10-15 menit lalu berbuka puasa, peang sudah berhadapan dengan dua potong paha ayam dan setungkup nasi. Saya ganti bersih-bersih dulu, karena baru sampai. Keluar dari kamar mandi, peang menyiapkan makan untuk saya. "hari ini gomah gak masak, mas. Nih, d'besto," kata peang.

Kami makan. Peang senyum-senyum sendiri. Saya tahu pasti ada maksudnya itu. Saya juga tahu kalau hari ini, di sekolah, peang pembagian rapot. Namun tidak ada dari kami yang membahas itu. Saya sudah ada perasaan aneh melihat peang yang dari tadi semyum-senyum itu.

Kami punya perjanjian: kalau nilai peang lebih baik dari semester lalu, maka ia dapat hadiah. Dari pola tingkahnya saya tahu, saya kalah.

***

Satu waktu ketika saya menjemput peang di sekolah, dari luar kelasnya, saya lihat peang memberi contekan pada temannya. Sekolah peang saya anggap aneh, setiap siswa yang bisa menyelesaikan soal lebih dulu bisa pulang lebih cepat. Setiap hari begitu. Setiap hari juga orangtua yang menjemput anaknya akan masuk ke ruang kelas dan membantu anaknya menyelesaikan soal agar supaya bisa pulang lebih cepat.

Saya sebal. Saya tidak ingin begitu. Peang sekolah dan diuji lewat soal-soal, yha agar supaya ia bisa menguji seberapa pahamnya dia ketika guru tadi menjelaskan. Pada saat yang bersamaan juga, peang tengah memberi contekan ke temannya. Ini bukan tentang nilai. Ini bukan tentang siapa-yang-lebih-dulu-pulang. Ini juga bukan tentang pembelaan kepada full day school yang aneh itu. Ini tentang proses belajar-mengajar. Ini tentang pemahaman siswa yang mampu memahami kegiatannya selama di sekolah.

Saya masih melihat semua itu dari luar kelas lewat jendela. Bayangkan saja, setiap hari terjadi seperti itu. Kegiatan di kelas tak ayal pasar tradisional: orang-orang mengerumini sesuatu yang ingin mereka dapatkan. Dalam hal ini, nilai bagus anaknya dan pulang cepat.

Peang keluar kelas. Ketiga terakhir dari yang lainnya. Sedangkan teman-teman yang peang beri contekan sudah pulang duluan. Saya bergeser ke pintu dan mengambil tas peang yang beratnya minta ampun. Kami pulang.

***

Jujur, saya belum pernah memarahi peang. Apapun bentuk kesalahannya. Apalagi sampai memukulnya. Saya percaya, semua bisa dibicarakan baik-baik. Semua bisa dinegosiasikan tanpa perlu ada yang dirugikan. Saya mencoba mengenalkan peang demokasi sejak dalam rumah.

Tentang kejadian di sekolah itu, saya bicarakan kepada peang. Saya bilang, saya tidak suka kalau dia memberi contekan ke teman-temannya. Saya juga tidak ingin peang mencontek temannya. Makanya ketika belajar mesti serius, walau serius bagi peang yha main-main.

Peang diam saja ketika saya beritahu itu. Kalau menyontek saja dibiarkan, buat apa berlama-lama di sekolah?

Seperti biasa, kami buat perjanjian sebagai solusinya. Hampir selalu seperti itu apapun masalahnya. Begini isi perjanjiannya:

Saya tidak mau lagi menjemputnya ke sekolah kalau kamu masih ngasih contekkan ke teman kelas. Sebagai gantinya, saya akan memberi uang lebih untuk dicelengkan kalau dalam sehari tidak memberi contekan.

Kami sepakat. Setiap hari saya memjemputnya ke sekolah dan memberinya uang lebih untuk peang celengkan. Tentu kalau saya bisa dan tidak sedang bekerja.

***

Jika sekarang saja banyak yang membela plagiarisme, bagaimana di kemudian hari jadinya? Saya tidak ingin ketika peang sudah besar masih ikut dalam "ombak" tersebut.

***

Sejak kecil saya tidak pernah menghalagi peang main komputer. Internetan. Silakan saja selama tidak terlalu lama. Kalaupun lama juga tidak apa-apa buat saya. Ada hal-hal yang bisa ia dapat sendiri tanpa ada yang mengajari. Internet memudahkannya. Tapi alasan yang lebih masuk akal: hanya dengan begitu, peang asyik dengan komputernya, saya bisa leha-leha. Tidak perlu munafik. Akui sahaja. Benar, kan?

Dulu memang pernah saya belikan peang tablet. Dua kali, malah. Keduanya rusak; satu oleh saya dan satunya rusak olehnya.

Entah ada angin apa, tiba-tiba peang minta dibelikan tablet. Tablet atau PSP. Di antara itu saja, katanya. Dan entah mengapa peang sendiri yang memulai untuk membuat perjanjian. Kalau nanti nilai rapot lebih tinggi dari semester lalu, pokoknya beliin tablet atau psp. Ia bilang itu kepada saya saat peang tahu saya beli hengpon baru.

Mungkin ia iri, entahlah.

Tidak ada yang berbeda dari peang. Tidak ada usaha lebih yang ia lakukan agar supaya bisa mendapat nilai lebih baik dari semester lalu di akhir tahun ajaran ini. Dia masih suka main komputer, tidak tidur siang dan makannya disuapin.

Saya pun tidak memaksanya. Biarkan saja. Toh, yang ingin dia dan yang membuat perjanjian juga dia. Tugas saya hanya siap-siap mengencangkan celana karena akan banyak pengeluaran nanti kalau peang bisa menang. Kalau perlu, seperti yang pernah dilakukan nabi muhammad saat lapar: mengganjal perutnya dengan batu.

***

Seminggu lalu saya lihat lima lembar hasil ujian kenaikan kelas punya peang. Saya kira ia sengaja menaruhnya di ruang depan agar supaya saya bisa langsung membacanya. Tiga di antaranya mendapat nilai 100, sisanya 95 dan 83.

Saya mulai khawatir. Sepertinya saya akan kalah.

***

Pertama-tama Peang mengeluarkan semua lembar soal ujiannya. Saya lihat semua. Hanya dua nilai itu memang yang beberapa hari lalu saya lihat, sisanya 100 semua. Saya tinggal mandi ---yha, akhirnya hari ini saya mandi. 

Baru saja ingin membuat kopi, peang menanyakan saya libur hari apa? Saya jawab, "minggu depan senin sampe rabu libur kok. Kenapa?"

"Nanti nyari tablet, yha," katanya seraya menyerahkan rapot dan menambahkan kalau semester ini ia peringkat enam. Semester lalu peang hanya di peringkat 10.

Bogor, 15 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun