Sesampainya di rumah, baru 10-15 menit lalu berbuka puasa, peang sudah berhadapan dengan dua potong paha ayam dan setungkup nasi. Saya ganti bersih-bersih dulu, karena baru sampai. Keluar dari kamar mandi, peang menyiapkan makan untuk saya. "hari ini gomah gak masak, mas. Nih, d'besto," kata peang.
Kami makan. Peang senyum-senyum sendiri. Saya tahu pasti ada maksudnya itu. Saya juga tahu kalau hari ini, di sekolah, peang pembagian rapot. Namun tidak ada dari kami yang membahas itu. Saya sudah ada perasaan aneh melihat peang yang dari tadi semyum-senyum itu.
Kami punya perjanjian: kalau nilai peang lebih baik dari semester lalu, maka ia dapat hadiah. Dari pola tingkahnya saya tahu, saya kalah.
***
Satu waktu ketika saya menjemput peang di sekolah, dari luar kelasnya, saya lihat peang memberi contekan pada temannya. Sekolah peang saya anggap aneh, setiap siswa yang bisa menyelesaikan soal lebih dulu bisa pulang lebih cepat. Setiap hari begitu. Setiap hari juga orangtua yang menjemput anaknya akan masuk ke ruang kelas dan membantu anaknya menyelesaikan soal agar supaya bisa pulang lebih cepat.
Saya sebal. Saya tidak ingin begitu. Peang sekolah dan diuji lewat soal-soal, yha agar supaya ia bisa menguji seberapa pahamnya dia ketika guru tadi menjelaskan. Pada saat yang bersamaan juga, peang tengah memberi contekan ke temannya. Ini bukan tentang nilai. Ini bukan tentang siapa-yang-lebih-dulu-pulang. Ini juga bukan tentang pembelaan kepada full day school yang aneh itu. Ini tentang proses belajar-mengajar. Ini tentang pemahaman siswa yang mampu memahami kegiatannya selama di sekolah.
Saya masih melihat semua itu dari luar kelas lewat jendela. Bayangkan saja, setiap hari terjadi seperti itu. Kegiatan di kelas tak ayal pasar tradisional: orang-orang mengerumini sesuatu yang ingin mereka dapatkan. Dalam hal ini, nilai bagus anaknya dan pulang cepat.
Peang keluar kelas. Ketiga terakhir dari yang lainnya. Sedangkan teman-teman yang peang beri contekan sudah pulang duluan. Saya bergeser ke pintu dan mengambil tas peang yang beratnya minta ampun. Kami pulang.
***
Jujur, saya belum pernah memarahi peang. Apapun bentuk kesalahannya. Apalagi sampai memukulnya. Saya percaya, semua bisa dibicarakan baik-baik. Semua bisa dinegosiasikan tanpa perlu ada yang dirugikan. Saya mencoba mengenalkan peang demokasi sejak dalam rumah.
Tentang kejadian di sekolah itu, saya bicarakan kepada peang. Saya bilang, saya tidak suka kalau dia memberi contekan ke teman-temannya. Saya juga tidak ingin peang mencontek temannya. Makanya ketika belajar mesti serius, walau serius bagi peang yha main-main.