Ewok pergi berlari dengan kemarahan dan ketakutan yang saling beririsan. Entah sampai kapan ia tiba dan bisa menemui Imas untuk yang terakhir kali. Napasnya terengah. Dipaksa terus jantungnya memompa darah dengan cepat. Ewok tidak ingin berhenti. Sebab berhenti, sama saja seperti merelakan sesuatu yang akan pergi. Ewok tidak ingin itu, walau akhirnya akan sama!
Lari dan terus berlari, sebagaimana tujuan itu terlihat di depan mata dan menjauh. Ewok hanya ingin berlari.
***
Ada yang mengetuk pintu kamar Imas. Ibunya. Imas tahu sudah waktunya untuk berangkat. Ditutup koper itu dengan napas yang dihembuskannya ke udara. Biar bagaimanapun semua telah usai. Imas menuju pintu kamar dengan langkah kaki yang berat. Sedikit diseret. Dibukanya pintu kamar, Ibunya sudah menunggu di sana dan meraih koper dari tangan Imas.
Satu per-satu anak tangga ia turuni. Darahnya seperti mengumpul semua di kedua kaki. Berat sekali ia angkat dan hanya membiarkannya terus hanya mengikuti gerak gravitasi.
***
Hujan tiba-tiba turun lagi. Lebih deras. Ewok terus berlari. Ia tidak peduli.
Imas sudah di mobil. Hujan kemudian tiba-tiba turun deras sekali. Mobil tetap dipacu membelah hujan. Walau dengan kecepatan yang pelan.
***
Air sudah menggenang semata kaki. Ewok dan Imas berpelukan erat sekali. Hujan tetap turun dengan deras. Airmata dan air hujan kini bertemu dan berkenalan.
Mereka berharap bisa saling melupakan. Dan sama-sama berharap dipertemukan kembali dengan kemungkinan yang tidak mungkin: mematikan perasaan yang dulu pernah tumbuh subur itu. Menunggu dijadikan mereka jawaban, atas persoalan yang belum dituliskan.