Imas merapihkan setiap pakaian yang akan ia bawa ke dalam koper. Melipatnya dengan sangat hati-hati dan presisi. Seakan yang ia lipat adalah kenangannya. Hanya nama Ewok yang hilir-mudik dalam pikirannya.
Hujan benar-benar deras. Ada senang dan sedih yang memeluknya bersamaan. Senang karena waktu pemberangkatannya ditunda sampai hujan benar-benar reda dan sedih karena ia sadar Ewok akan benar-benar hilang dalam hidupnya.
Diputarnya lagu kesukaan yang pernah Ewok buat khusus untuknya. Sangat ia suka saat pertama kali Imas dengar. Sebuah lagu yang belakangan ia tahu kalau liriknya adalah dari puisi Sapardi, bukan asli gubahan Ewok. Tapi sungguh Imas tidak peduli. Imas suka lagu itu ketika dinyanyikan. Aku Ingin, judul lagu itu. Sambil sesekali memejamkan mata, Imas lihat Ewok berjalan mendekat ke arahnya. Perlahan tapi pasti. Imas harap ketika Ewok sampai di hadapannya akan memeluknya sampai tidak bisa dilepaskan. Tapi yang terjadi adalah: setelah benar Ewok tiba, tepat di hadapannya, ketika tangannya merenggang ingin memeluk, tubuhnya seketika menjadi abu. Hanya kehampaan yang Imas peluk.
Imas membuka matanya. Sedikit basah di bagian pelupuknya. Diusapnya dengan jari. Ada sesak yang penuh dalam dirinya. Entah apa dan kenapa.
Tuhan, jika dengan pergi bisa ditemukan cinta sejati, mesti sejauh mana langkah kaki ini melewati sedih yang tak terperi? Itu yang Imas teriakan dalam hati. Berkali-kali. Dengan kepasrahan yang tidak tahu kepada siapa.
"Jawab, Tuhaaaaaaaa?" kata Imas pelan, sambil beberapa tetes airmata tanggal melewati pipinya.
***
Tiba-tiba hujan reda begitu saja. Ewok mendadak bingung apa yang mesti ia lakukan.
***
Tiba-tiba hujan berhenti begitu saja. Imas tahu betul inilah saatnya.
***