Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Karena Kita adalah Thukul (yang Masih) dalam Pelariannya

23 Januari 2017   12:50 Diperbarui: 6 Oktober 2021   20:55 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1/

seumpama bunga
kita adalah bunga
yang dirontokkan di bumi kami sendiri – bunga dan tembok
 

2/

Sejak mengenal buku saya tidak pernah kesepian; seramai atau sesunyi apapun.Karena kesepian, barangkali, adalah perjalanan menuju ruang/tempat asing yang baru didatangi. Dalam pelarian, misalnya, kita akan mudah mengenali kesepian sebagai teman, sebagai karib, sebagai sesuatu yang mesti kita terima --walau ingin sekali melawannya.

Untuk itulah saya selalu membawa buku ke mana-mana. Kesepian bisa jadi makin menakutkan ketika di waktu bersamaan merindukan seseorang.

Pernah satu waktu saya tidak membawa buku, tidak membacanya satu waktu. Kemudian setelah menonton film Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-kata, saya tahu: seperti itulah kesepian secara hakiki.

3/

Ada dua adegan dalam film Wiji Thukul yang saya suka. (1) Satu malam Thukul sedang membaca buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu yang ditulis Pramodya Ananta Toer. 

Temannya datang membawakan makanan, lalu ia memberi tahu kalau untuk bisa membaca buku itu ia harus sembunyi-sembunyi. Takut dikira pemberontak, katanya. 

Namun, hanya di bagian itu, saya kira, ada puisi Wiji Thukul yang ditafsirkan secara terang-terangan. Apa Guna, judul puisinya. Saya kutip larik puisi yang dibacakan temannya itu:

apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu.

Disitulah secara eksplisit film Istirahatlah Kata-kata (ingin) mengingatkan kita dengan kemasan sedemikian lucu. Kata orang itu, "sebagai mahasiswa saya jadi malu, bang, banyak baca buku tapi masih takut untuk berucap. Makanya,saya lebih baik tidak usah baca buku saja, kan?"

Setelah selesai, orang itu terkekeh. Wiji Thukul menoleh dengan wajah gamang. Suara tawa itu lambat laun merendah dan berhenti. 

Dan (2) setelah Thukul menyamar jadi Paul. Itulah kali pertama Thukul berani keluar dengan sedikit tenang. Ia mengajak temannya, Martin, untuk minum-minum di kedai. Mereka berdua (hampir) mabuk dan Thukul membaca puisi Kemerdekaan Itu Nasi:

Kemerdekaan itu nasi
dimakan jadi tai.

4/

sembari nunggu pelem muale. baca! (dokumentasi pribadi)
sembari nunggu pelem muale. baca! (dokumentasi pribadi)
5/

Entah mengapa dari dulu saya menggambarkan Thukul tak ayalnya Tan Malaka dan Munir. Hanya saja yang ini gemar menulis puisi.

6/

Tak ada yang lebih menjengkelkan dari pergi ke bioskop sendiri dan lalu bertemu mantan menonton film yang sama dan duduk bersebelahan dengan pasangan barunya. 

Ada tiga alasan yang membuat itu semakin menjengkelkan. Saya lampirkan saja. Tak sudi saya tuliskan ulang lagi. Begini:

tangkapan layar dari akun sendiri (dokumentasi pribadi)
tangkapan layar dari akun sendiri (dokumentasi pribadi)
Sepanjang film itu, jujur, saya sangat terganggu. Hal-hal yang pernah kami lakukan --dan sebenarnya sudah saya ikhlaskan untuk lupakan-- mendadak hadir. Apalagi untuk poin terakhir. Kenyataannya itu dilakukan oleh dia dan pasangan barunya.

Saya semakin kesepian oleh kenangan-kenangan yang kembali hadir itu. Dan melihat mereka berdua, saya tak seakan tai (dalam puisi Wiji Thukul tadi).

7/

Sebab mereka bertiga, Wiji Thukul; Tan Malaka; dan Munir, adalah posterboy. Wajah mereka selalau dijadikan simbol perlawanan atas kejamnya kekuasaan. 

Namun, hanya Wiji Thukul sahaja yang jarang sekali saya temukan rekam jejak kehidupannya. Ada, tapi lagi-lagi sama: Wiji Thukul selalu digambarkan seorang penyair. Titik.

Tidak banyak bahasan tentang bagaimana kehidupan Wiji Thukul. Buku Serial Tokoh yang dibuat Tempo saja sekadar berfokus pada masa di mana sebelum ia (di)hilang(kan) dan proses kepenyairannya. 

Namun, buku itu,saya kira, sangat cocok untuk mengantar para penonton Istirahatlah Kata-kata.

Oleh karenanya, penggambaran saya tentang Wiji Thukul terbagi dua: (1)selama pelariannya, saya bayangkan Tan Malaka; (2) membela kaum-kaum buruh dan sebagainya, saya bayangkan Munir. Sekadar membayangkan saja supaya lebih mudah.

Sisi semacam inilah yang coba ditawarkan Yosep Anggi Noen lewat Istirahatlah Kata-kata. 

Sang Sineas ingin menjelaskan bahwa Thukul tak ubahnya adalah manusia biasa seperti kita; akui, kamu dan mereka. Ia punya ketakutan ketika dikekang. Ia punya kerinduan ketika jarak memisahkan. Ia punya ribuan keresahan juga seperti kita.

Makanya saya sedikit kesal saja yang bagi mereka sudah menonton dan kecewa karena tidak ada adegan–adegan heroik yang mereka bayangkan tentang masa itu. 

Sialnya lagi, mereka-mereka yang kecewa, adalah generasi milineal yang mengenal Thukul sebagai alat gagah-gagahan. Saya memaklumi. Setidaknya masih ada yang bisa dikapitilisasi dari sosok Wiji Thukul.

8/

Saya jadi ingat ketika diskusi Istirahatlah Kata-kata di Asean Literary Festival 2016 yang diwakili Gunawan Maryanto. Saat itu juga ada Aan Mansyur. 

Entah diskusi apa, mungkin tentang film-film yang lahir dari puisi? Bisa jadi. Mungkin lagi, karena Ada Apa dengan Cinta 2 baru keluar dan buku puisi Aan Mansyur untuk film itu, Tidak Ada New York Hari Ini, sedang laris-larisnya.

Dan jika ingatan saya tidak berkhianat, Istirahatlah Kata-kata sudah dapat penghargaan dari luar negeri. Saya lupa namanya. Intinya seperti itu!

Sebagai tokoh yang memerankan Wiji Thukul, Gunawan Maryanto yang juga seorang penyair ini, merasa bangga. Tidak ada kesulitan berarti dalam proses pembuatan film. Hanya berupaya untuk membuat suara cadel. Karena, itu menjadi ciri khas Wiji Thukul yang mengaksentuasikan huruf --R.

Sudah begitu, kata Gunawan Maryanto, puisi-puisi Wiji Thukul itu sangat bunyi. "Sebagai actor, puisi Wiji Thukul enak banget untuk dilantunkan," lanjutnya.

Gunawan Maryanto menduga, karena Wiji Thukul juga seorang pemain teater, akhirnya sebagai penyair ia sangat menimbang; menimbang nafas, menimbang panjang-pendek, menimbang bunyi. 

Membaca puisi Wiji Thukul, memang seperti membaca karya-karya Rendra. Sedikit banyaknya beririsan.

9/

jangan lupa, kekasihku
jika pukul lima
buruh-buruh perempuan
yang matanya letih
jalan sama-sama denganmu
berbondong-bondong
itu kawanmu, kekasihku. – jangan lupa, kekasihku

10/

Untuk yang terbiasa atau baru akan membiasakan diri dengan Jakarta (atau kota besar lainnya), rumah akan menjadi sesuatu yang asing. Bisa pulang ke rumah, barangkali, menjadi sebuah mimpi bagi sebagian orang.

Kita menjadi lebih terbiasa dengan meributkan deadline daripada saling berebut remot tivi di rumah karena selera acara berbeda. Juga lebih bisa memaklumi terjebak kemacetan daripada menunggu tukang baso lewat depan rumah karena gas belum terbeli. Apa lagi?

11/

Selama Wiji Thukul masih bisa menulis dan membaca, maka saat itu ia tidak kesepian di tengah pelariannya. Asing, tentu saja.

Melihat pelarian Wiji Thukul pada masa itu, di mana pun itu, bagi saya adalah proses melihat rumah sebagai pusat kerinduan. Banyak sekali adegan di mana Wiji Thukul, dalam film itu, melihat fragmen-fragmen yang ia jumpai, selaiknya ia di rumah. 

Listrik yang setiap malam padam, tangisan anak kecil yang takul kegelapan, sampai pertemuannya dengan Udi – seseorang yang ingin gagal menjadi polisi.

Tanda-tanda semacam itu disajikan, saya kira, supaya kita bisa lebih memaknai seperti apa rumah dan  kepulangan itu? Kemudian adakah beda kita dengan Wiji Thukul (yang masih) dalam pelariannya?

Kedai Arab, 22 Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun