1/
seumpama bunga
kita adalah bunga
yang dirontokkan di bumi kami sendiri – bunga dan tembokÂ
2/
Sejak mengenal buku saya tidak pernah kesepian; seramai atau sesunyi apapun.Karena kesepian, barangkali, adalah perjalanan menuju ruang/tempat asing yang baru didatangi. Dalam pelarian, misalnya, kita akan mudah mengenali kesepian sebagai teman, sebagai karib, sebagai sesuatu yang mesti kita terima --walau ingin sekali melawannya.
Untuk itulah saya selalu membawa buku ke mana-mana. Kesepian bisa jadi makin menakutkan ketika di waktu bersamaan merindukan seseorang.
Pernah satu waktu saya tidak membawa buku, tidak membacanya satu waktu. Kemudian setelah menonton film Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-kata, saya tahu: seperti itulah kesepian secara hakiki.
3/
Ada dua adegan dalam film Wiji Thukul yang saya suka. (1) Satu malam Thukul sedang membaca buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu yang ditulis Pramodya Ananta Toer.Â
Temannya datang membawakan makanan, lalu ia memberi tahu kalau untuk bisa membaca buku itu ia harus sembunyi-sembunyi. Takut dikira pemberontak, katanya.Â
Namun, hanya di bagian itu, saya kira, ada puisi Wiji Thukul yang ditafsirkan secara terang-terangan. Apa Guna, judul puisinya. Saya kutip larik puisi yang dibacakan temannya itu:
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu.
Disitulah secara eksplisit film Istirahatlah Kata-kata (ingin) mengingatkan kita dengan kemasan sedemikian lucu. Kata orang itu, "sebagai mahasiswa saya jadi malu, bang, banyak baca buku tapi masih takut untuk berucap. Makanya,saya lebih baik tidak usah baca buku saja, kan?"