Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

11 Cerita Fiksi(ana) yang Mengganggu Selama 2016

24 Januari 2017   11:11 Diperbarui: 24 Januari 2017   21:46 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1/ 

"Tidak ada tulisan yang sempurna,kecuali yang belum ditulis.”

Entah di mana saya temukan kutipan itu. Ditulis oleh siapa dari buku apa. Hal semacam ini selalu menyusahkan tatkala saya ingin membuat catatan. Ternyata menulis bermodal ingatan malah bisa semakin memperburuk keadaan.

Dan itu mengganggu. Sungguh. 

2/ 

Draft catatan ini saya buat pada awal 2016 lalu; 3 Februari, tepatnya. Lebih tepatnya lagi, setelah saya membaca cerpen "Siapa Namamu, Hugo?" yang ditulis Adri Wahyono di kanal Fiksiana. Dengan segala khayalan kala itu, tiba-tiba saya ingin bisa membuat dokumentasi seperti halnya HB. Jassin. Tidak. Tidak sama sekali ingin menyamai HB. Jassin, namun, barangkali, dengan upaya seperti ini saya jadi sedikit memudahkan untuk mencari atau mengetahui atau mengenal siapa-siapa saja pelakunya itu sendiri; karya-karya macam apa yang mereka telah buat; sampai seberapa jauh "bentuknya" sekarang ini.

Dan kemudian ada yang saya tunggu setiap hari setelah itu: cerita-cerita di kanal Fiksiana dan 2016 segera berakhir –karena saya tak sabar membuatnya.

Dalam salah satu wawancara dengan Harian Kompas, Agus Noor pernah pernah ditanya seperti ini: bagaimana sebenarnya perkembangan pembaca sastra beberapa tahun belakangan?

Buat saya itu menarik. Bukan karya sastranya, melainkan karakter pembacanya. Itu juga penting, saya kira. Memang untuk apa menulis kalau tidak ada pembacanya? Pembaca adalah harta karun bagi penulis. Dan mengetahui karakter pembaca jadi perlu-tidak-perlu. Saat itu saya suka jawaban Agus Noor. Katanya, dengan berkembangnya sosial media, maka secara langsung atau tidak, pembaca kita ternyata lebih suka sebuah karya yang "quote-able".

Artinya dari sebuah karya, paling tidak ada satu atau dua kalimat yang bisa dikutip, yang barang tentu akan pembaca salin-tempel –dengan atau tanpa motif tertentu. Itu hanya tafsir saya sahaja. Jika merujuk benar atau tidak, untuk saat ini saya hanya bisa mengamininya.

3/

Yang menurut saya lucu dan selalu disematkan kepada pengarang dari tulisannya: memangnya apa pesan (moral) yang ingin disampaikan dari cerita itu?

Menjadi lucu buat saya karena (pertama) seakan-akan itu adalah tugas wajib seorang pengarang adalah memberi pesan moral dan (kedua) segala yang ditulis mesti ada faedahnya. Lantas tanggung jawab seperti apa seorang pengarang pada pembacanya? Menurut saya lagi, mengajak pembaca supaya kreatif. Pembaca dibuat mencari (atau mengajak mereka membaca semua, dari awal hingga akhir cerita) sendiri apa yang sekiranya penting dan tidak dari karangan tersebut.

Karena saya percaya: tidak ada otoritas tunggal untuk memaknai sebuah tulisan. Ia hidup dari ragam tafsir. Ia bertumbuh dari makna dan berlipat ganda.

Baru sebatas itu pendekatan saya untuk sebuah cerita. Yang kemudian mengganggu saya ketika membacanya. Dan lebih sering gangguan itu berupa bagaimana cara saya mencari orang/karya semacam apa yang disembunyikan pengarang sampai akhirnya bisa menulis semenarik itu. Selalu seperti itu. Entah.

4/

Setidaknya ada 11 cerita (puisi/cerpen) di kanal Fiksiana yang mengganggu saya selama 2016. Saya kumpulkan dengan membagikannya di laman akun sosial media. Sebuah upaya termudah daripada mesti mengandalkan ingatan, bukan?

5/

1. Siapa Namamu, Hugo? – ditulis Adri Wahyono.
2. Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala – ditulis Andi Wi.
3. Terendam dalam Cairan Biru Langit – ditulis Livia Halim.
4. Pengadilan Kuda – ditulis Sihar EP Sitompul
5. Bunga-bunga Rindu, Rindu-rindu Paras – ditulis Harirotul Fikri
6. Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir – ditulis Annisa Malchan
7. Braga Stone 1975 – ditulis Bandyoko
8. Kopi dan Tualang Hati – ditulis Khirsna Pabhicara
9. Benturan Kepala di Dinding seperti Ketukan Instrumen Perkusi – ditulis Rai Sukmaning
10. Perempuan Mandalawangi – ditulis Ubay Ananta
11. Kupu-kupu yang Hinggap di Rambut Ibu -- ditulis Fitri Manalu

6/

Saya masih ingat betul, dua malam saya dibuat tidak tidur! Malam itu dikuasai rasa jenuh dan bosan ketika sedang seluyuran di kanal Fiksiana dan saya menemukan cerpen Adri Wahyono Siapa Namamu, Hugo? Ide ceritanya mungkin sederhana, yaitu seorang anak kecil yang suka sepakbola dan mendatangi saudara-saudaranya karena lapar.  Namun caranya mengemas ide itulah yang menarik, seakan membaca cerpen terjemahan. Yang ada di kepala saya setelah membaca itu adalah cerpen Mal Peet “The Socrates Effect”. 

Tidak. Tidak saya temukan sadurannya di mana-mana. Itu cerpen yang sangat bagus, yang dibuat Adri Wahyono. Bagian ini yang saya suka: ketika orang-orang menggunakan istilah untuk memanggil anggota keluarga Hugo "Si Miskin Carliato". Saya kutipkan satu paragraf:

“Ah, istri si miskin Carlito, tentu hari ini keberuntungan sedang ingin datang ke rumah kalian. Tapi rupanya kau ini sungguh keterlaluan, kau suruh Hugo belanja sebanyak itu. Apa kau lupa kalau ia pasti tak bisa membawanya sendiri jika kau suruh ia membeli dua ekor ayam, tiga pon kentang, sekarung gandum, dan rempah-rempah sebanyak itu?” Franco turun dari truk dan mendatangi Gina Carlos yang berdiri di pintu.

Hal serupa juga saya temui di dua cerpen lain: Benturan Kepala di Dinding seperti Ketukan Instrumen Perkusi; Rai Sukmaning dan Pengadilan Kuda; EP Sitompul. Jika cerpen Rai Sukmaning berlatar negeri Italia, sedangkan EP Sitompul, buat saya, amat khas bagaiamana orang-orang Medan bertutur – di sini saya ingat cerpen-cerpen Sitor Situmorang dalam buku Ibu Pergi ke Surga.

7/

Kemudian dua prosa yang ditulis dengan indah: Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala yang ditulis Andi Wi; dan Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir yang ditulis Annisa Malcan. Inilah "gudangnya" orang-orang bisa dengan mudah mengutipnya dan lalu diambil untuk sekadar catatan di sosial media. Keduanya juga ditulis dengan aturan yang barangkali mereka buat sendiri. Tidak terkotakkan sesuatu aturan baku. Ditulis sebagai puisi, bisa; esai apalagi.

Tapi kau jangan sedih hanya karena aku adalah seorang pesimistik yang baik. Jauh di dasar jiwaku, meyakini-yakini diriku sendiri, bahwa, kelak, kau akan kembali.–  Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala

Nama kehilangan nama dalam dirinya. Nama terbuang dari kehidupan di tengah gemerlapan dunia yang baru baginya. Ia terlahir kembali sebagai seseorang yang tak pernah terlahir. – Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir

Namun, yang membuat saya menggangu adalah, dari kedua prosa itu, amat kurang konflik yang dihadirkan – walau dengan begitu masih juga bisa dinikmati. Apa yang ditulis Andi Wi, misal, untuk yang hidup di era surat-menyurat barangkali paham maksudnya, tapi bila tidak? Membaca itu seperti cerita temannya yang kadung kangen dengan kekasihnya. Hanya konflik batin yang muncul. Sama seperti yang ditulis Annisa Malcan. Bedanya, mungkin, mengingatkan kita kalau dulu pernah ada kerumitan bagi mereka yang pernah menjadi tapol (tahanan politik). Betapa kartu pengenal menjadi momok yang tidak mereka inginkan!

8/

kita berjalan menyusurinya tanpa tahu
berkali-kali
menjadi ritual

Rindu,aku hanya kenangan
dan bagian-bagian masalalu yang
ingin kuhadiahkan
bagi ingatan pendekmu.

Jika tanganku tak sampai
Jangau risaukan aku dalam mimpimu
Sempurnakanlah doa-doa yang berhamburan
Di atap rumahmu yang sayu

Bagus tidak puisi di atas? Itu dibuat dari tiga bait puisi yang berbeda. Braga Stone 1975 yang ditulis Bandyoko; Kopi dan Tualang Hati yang ditulis Khirsna Pabhicara; dan Perempuan Mandalawangi yang ditulis Ubay Ananta.  Setelah membaca ketiga puisi itu seperti ada yang mengganggu, khususnya puisi milik Bandyoko. Entah mengapa, membaca puisi-puisi beliau mengingatkan bentuk puisi di Angkatan 45: kuat akan diksi dan pemenggalan kalimat. Baca saja karya-karya Chairil Anwar, Sitor Situmorang dan Asrul Sani. Bukan sebagai pembanding, hanya saja saat membaca puisinya, kita akan dibawa pada era itu. Hebat. Salam, Paknya Bandyoko!

Sebab kebanyakan puisi yang sebenarnya bagus, tapi ketika dieksekusi (dalah hal ini maksud saya pemenggalan larik) jadi malah terlihat aneh. Nah, ketiga puisi ini paling tidak, bagi saya, adalah contoh puisi yang berhasil dari segala pakem yang ada.

9/

Dalam esai Eka Kurniawan yang berjudul Karakter Datar dan Karakter Bulat, ia menjelaskan kalau mereka (para penulis pemula) berkeyakinan bahwa satu paradigma tertentu harus dipilih, satu jenis “aliran” (“school”) harus diterapkan. Fungsinya sudah tentu supaya penulis menjadi nyaman. Setelah itu, harapannya adalah semoga pembaca ikut terbawa nyaman. Namun, yang jadi persoalan adalah siapa yang bisa menjamin kalau seorang penulis punya pembaca yang seragam?

Pada titik ini, saya jadi ingat obrolan dengan Djenar Maesa Ayu di belakang panggung sebelum Kompasianival 2015. Katanya, sebagai penulis, tidak mungkin bisa memuaskan semua pembaca –sehebat apapun karyanya. Oleh karenanya, puasi dahulu penulisnya sendiri dan sampaikan itu kepada pembaca.

10/

Saya pilih ketiga cerpen ini karena ketiganya punya bentuk dan karakter yang berbeda-beda. Dan yang paling menyenangkan, ini tidak saya duga sebelumnya, ketiganya adalah penulis perempuan. Saya pernah sedikit menyingung ini saat membuat resensi buku kumpulan cerita Norman Erikson Pasaribu Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu (yang ternyata dia itu laki-laki, sial! tapi bukan itu sih inti tulisan itu): Kesepian Itu Berwujud, Punya Bentuk!

Ketiga cerpen itu: Terendam dalam Cairan Biru Langit yang ditulis Livia Halim; Bunga-bunga Rindu, Rindu-rindu Paras yang ditulis Harirotul Fikri; dan Kupu-kupu Yang Hinggap di Rambut Ibu yang ditulis Fitri Manalu.

Melanjutkan apa yang ditulis Eka Kurniawan dalam esainya, ketiga penulis ini punya cara mereka masing-masing untuk membuat pembaca mereka menjadi nyaman. Livia Halim dengan bentuk surealisme-nya, Harirotul Fikri dengan prosa lirisnya, dan Fitri Manalu dengan detil-detil yang sungguh saya kagumi sampai sekarang. Malah di sini permasalahannya: akan jadi mengganggu buat saya ketika ketiga penulis ini tidak membuat tulisan sebagaimana telah tumbuh dalam bayangan saya semula. Maksudnya, sekuat apa mereka mampu mempertahankannya? Di sini kapasitas saya hanya bisa mendoakan saja. Teruslah berkarya!

11/

Apa yang tertulis, tetap tertulis, begitu kata satu ayat di Alkitab. Itu saya tahu dari pasangan saya (yang dulu) ketika mulai bosan melihat saya banyak baca, tapi sedikit menulis. Semacam penyemangat atau apalah sebutannya. Untuk itulah sampai sekarang saya sedang mengimbangi antara membaca dan menulis. Namun, mungkin akan timpang prosentasenya, sebab yang banyak dilakukan penulis adalah membaca. Begitu katanya. Dengan banyak membaca tulisan-tulisan di kanal Fiksiana, misalnya. Dan karena sudah tidak ada yang meningatkan saya, mohon ingatkan supaya tidak lupa kembali menulis hal serupa tahun depan. Doakan dan ingatkan saja. 

Sebenarnya semua tulisan bagus buat saja. Hanya saja, yha memang tidak sempurna. Hanya saja ke-11 cerita ini mengggangu saya selama 2016.

Kepada semua yang masih menulis di kanal Fiksiana..., terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun