Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

11 Cerita Fiksi(ana) yang Mengganggu Selama 2016

24 Januari 2017   11:11 Diperbarui: 24 Januari 2017   21:46 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian dua prosa yang ditulis dengan indah: Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala yang ditulis Andi Wi; dan Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir yang ditulis Annisa Malcan. Inilah "gudangnya" orang-orang bisa dengan mudah mengutipnya dan lalu diambil untuk sekadar catatan di sosial media. Keduanya juga ditulis dengan aturan yang barangkali mereka buat sendiri. Tidak terkotakkan sesuatu aturan baku. Ditulis sebagai puisi, bisa; esai apalagi.

Tapi kau jangan sedih hanya karena aku adalah seorang pesimistik yang baik. Jauh di dasar jiwaku, meyakini-yakini diriku sendiri, bahwa, kelak, kau akan kembali.–  Malam Jatuh di Samarinda: Menunggu Kau Tua di Kepala

Nama kehilangan nama dalam dirinya. Nama terbuang dari kehidupan di tengah gemerlapan dunia yang baru baginya. Ia terlahir kembali sebagai seseorang yang tak pernah terlahir. – Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir

Namun, yang membuat saya menggangu adalah, dari kedua prosa itu, amat kurang konflik yang dihadirkan – walau dengan begitu masih juga bisa dinikmati. Apa yang ditulis Andi Wi, misal, untuk yang hidup di era surat-menyurat barangkali paham maksudnya, tapi bila tidak? Membaca itu seperti cerita temannya yang kadung kangen dengan kekasihnya. Hanya konflik batin yang muncul. Sama seperti yang ditulis Annisa Malcan. Bedanya, mungkin, mengingatkan kita kalau dulu pernah ada kerumitan bagi mereka yang pernah menjadi tapol (tahanan politik). Betapa kartu pengenal menjadi momok yang tidak mereka inginkan!

8/

kita berjalan menyusurinya tanpa tahu
berkali-kali
menjadi ritual

Rindu,aku hanya kenangan
dan bagian-bagian masalalu yang
ingin kuhadiahkan
bagi ingatan pendekmu.

Jika tanganku tak sampai
Jangau risaukan aku dalam mimpimu
Sempurnakanlah doa-doa yang berhamburan
Di atap rumahmu yang sayu

Bagus tidak puisi di atas? Itu dibuat dari tiga bait puisi yang berbeda. Braga Stone 1975 yang ditulis Bandyoko; Kopi dan Tualang Hati yang ditulis Khirsna Pabhicara; dan Perempuan Mandalawangi yang ditulis Ubay Ananta.  Setelah membaca ketiga puisi itu seperti ada yang mengganggu, khususnya puisi milik Bandyoko. Entah mengapa, membaca puisi-puisi beliau mengingatkan bentuk puisi di Angkatan 45: kuat akan diksi dan pemenggalan kalimat. Baca saja karya-karya Chairil Anwar, Sitor Situmorang dan Asrul Sani. Bukan sebagai pembanding, hanya saja saat membaca puisinya, kita akan dibawa pada era itu. Hebat. Salam, Paknya Bandyoko!

Sebab kebanyakan puisi yang sebenarnya bagus, tapi ketika dieksekusi (dalah hal ini maksud saya pemenggalan larik) jadi malah terlihat aneh. Nah, ketiga puisi ini paling tidak, bagi saya, adalah contoh puisi yang berhasil dari segala pakem yang ada.

9/

Dalam esai Eka Kurniawan yang berjudul Karakter Datar dan Karakter Bulat, ia menjelaskan kalau mereka (para penulis pemula) berkeyakinan bahwa satu paradigma tertentu harus dipilih, satu jenis “aliran” (“school”) harus diterapkan. Fungsinya sudah tentu supaya penulis menjadi nyaman. Setelah itu, harapannya adalah semoga pembaca ikut terbawa nyaman. Namun, yang jadi persoalan adalah siapa yang bisa menjamin kalau seorang penulis punya pembaca yang seragam?

Pada titik ini, saya jadi ingat obrolan dengan Djenar Maesa Ayu di belakang panggung sebelum Kompasianival 2015. Katanya, sebagai penulis, tidak mungkin bisa memuaskan semua pembaca –sehebat apapun karyanya. Oleh karenanya, puasi dahulu penulisnya sendiri dan sampaikan itu kepada pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun