Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Braga, Jalan Asia-Afrika

29 Desember 2016   04:34 Diperbarui: 29 Desember 2016   04:55 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: @kulturtava

1/ Perempuan itu terus berlari dengan tetesan keringat yang kemudian menjadi kupu-kupu.

ADA SEBUAH LUKISAN yang sama sekali tidak dijual di toko itu. Sebuah lukisan yang bercerita tentang perempuan yang jengah, yang sudah tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dunia ini. Kepala perempuan itu lahir ribuan kupu-kupu bersayap kuning dan biru; beterbangan. Si Perupa memberinya judul: Kupu, Perempuan Setelah Itu.

Dan setelah melihat lukisan itu seperti ada yang liar-liar dalam pikiran Imas. Dadanya mendadak jadi sesak. Lalu Imas memejamkan mata. Kegelapan yang kosong. Kepastian yang bohong. Sebelum Imas membuka matanya, barulah muncul ribuan kupu-kupu itu, beterbangan menuju matanya yang sayu.

Toko lukisan itu semacam oase di Jalan Braga. Sebab di antara segala yang gilang gemilang di sana, hanya toko itu yang dari luar terlihat sedikit kusam. Dan entah mengapa, Imas suka sekali ke toko itu. Seperti ada yang membuatnya kembali, walau Imas sendiri tidak tahu mengapa dan ada apa. Dalam satu bulan, jika sedang lewat jalan Braga, Imas pasti sempatkan mampir. Tak lupa juga Imas akan berlama-lama memandang lukisan perempuan berkepala taman kupu-kupu.

Pernah satu waktu ketika toko itu sedang sepi --ya, selain akhir pekan, toko lukisan itu memang selalu sepi-- di sabtu sore, Imas diingatkan oleh si Perupa, "tidak usah terlalu serius melihat lukisan, karena (setiap) lukisan akan mengambil banyak energi bagi siapapun yang melihatnya."

Imas hanya diam saja dan sedikit mengangguk saat si Perupa itu selesai mengingatkan. Imas tidak peduli, tepatnya.

Selain toko lukisan itu, masih di Jalan Braga, Imas juga suka mampir ke sebuah kedai kopi yang ada pojok hiburan setiap malamnya. Masih sama, seperti toko lukisan itu, sepi dari minat pelancong. Ya, di kedai kopi itulah untuk kali pertama Imas kenal Ewok --secara kebetulan atau tidak. Saat itu malam minggu. Kedai kopi itu sedang tidak ramai-ramainya. Mana ada orang datang ke Jalan Braga dan memilih tempat nongkrong yang hiburannya lagu-lagu mendayu? Kecuali Imas, tentu.

Ewok baru saja turun dari panggung. Memasukkan gitarnya ke dalam sarung. Kemudian pemilik kedai kopi itu, temannya Ewok sendiri, menghampiri Ewok dan menepuk punggung. "Mainkan satu atau tiga lagu lagi bisa? Ayolah. Lihat, masih ada pengunjung."

Mata Ewok langsung tertuju pada Imas yang tengah membaca buku di kedai kopi itu. Kedai itu emang hanya menggunakan lampu-lampu yang tidak terlalu terang yang digantung. Namun, di tiap meja disediakan lampu-lampu yang warnanya kuning keemasan. Jadi jika dilihat dari jauh, akan membentuk siluet. Dan di mejanya, Imas yang tengah membaca buku dan terlihat sedikit murung.

"Memang masih kurang 2 jam menyanyi tapi tidak ada yang mendengarkan?" tanya Ewok, tapi matanya masih mengarah ke Imas.

"Saya mendengar semua lagu yang kau nyanyikan, Wok. Dan saya yakin, dia juga mendengarkan,"

"Kau tidak masuk hitungan dan dia selalu sibuk dengan bacaannya,"

"Saya punya dua telinga yang masih berfungsi baik, percayalah."

Ewok masih memandang Imas dari tempatnya. Lalu, tak lama, Imas berdiri. Hendak pergi.

"Hey, kamu, saya masih punya 10.000 jam untuk bernyanyi di sini jika kamu mau,"

Imas merasa terpanggil dengan sapaan "hey, kamu" tadi.

Sarung gitarnya dibuka. Ewok naik kembali ke panggung kecil kedai kopi itu. Memasang beberapa colokan pada hitamnya dan mulai bernyanyi. Dan Imas tidak jadi pergi.

***

Ternyata 10.000 jam akhirnya tidak diisi dengan bernyanyi. Kadang Imas dan Ewok pergi ke suatu tempat untuk sekadar menulis lagu baru dan Imas menjadi pendengar pertamanya. Atau, kadang juga, mereka berdua mendatangi toko lukisan itu dan saling mendebat lukisan perempuan yang di kepalanya lahir ribuan kupu-kupu. Imas selalu menang, bagaimanapun, sebab Ewok sama sekali tidak paham lukisan. Tapi berkat Imas, tanpa Ewok sadari, kini ia juga suka lukisan. Mencoba suka, barangkali.

Itu adalah jam ke 9.998 saat Ewok akhirnya menyatakan sesuatu yang timbul-tenggelam dalam pikiran dan perasaannya. Imas tidak kaget, sebab itu juga yang ia rasakan. Keduanya berpegangan tangan. Saling berhadapan. Tepat di depan lukisan perempuan itu, Imas menjawab: carilah perempuan lain, aku tidak bisa menjawab dan kamu tidak dapat jawaban atas pertanyaan atau penyataanmu itu.

Imas pergi. Dengan kecewa yang ia emban sendiri. Ewok akan menunggu jawaban yang barangkali tidak pasti.

***

Headline beberapa koran hari ini: seorang perempuan berlari menjelajah sisi bumi dengan keringat yang menetes menjadi kupu-kupu.

Laporan langsung di beberapa tivi: sudah hampir satu bulan perempuan itu berlari dengan badan yang sudah sangat menyedihkan. Kurus dan kering. Tapi setiap keringat menetes dari tubuhnya, kepalanya, keringat itu menjelma kupu-kupu. Kamera dengan jelas merekamnya. Kupu-kupu itu hidup dan lahir dari keringat perempuan itu.

Perempuan itu Imas. Sayang sekali Ewok tidak tahu. Satu bulan lalu, Ewok ditemukan mati di Jalan Asia-Afrika.

2/ Laki-laki itu menunggu dengan sabar sebuah kabar yang bahkan burung saja tidak pernah bawa.

HANYA KEYAKINAN DAN kenangan yang akhirnya membawa Ewok setiap hari, dari sore hingga malam, bernyanyi di cafe itu. Bayarannya tidak seberapa, tapi Ewok dengan setia menjalaninya. Menyanyi saja, tidak peduli ada yang mendengarkan atau tidak. Saat cafe itu sepi atau tidak. Ewok ke sana untuk bernyanyi, memainkan gitarnya.

Gitar yang selalu Ewok mainkan itu punya kisah yang panjang. Tapi biasa saja, hanya saja amat berkesan untuk Ewok. Gitar itu milik Ayahnya. Dibeli dari seorang pengamen yang suka datang ke rumahnya, yang sebelah tangannya tidak ada. Bagaimana memainkan gitar dengan satu tangan? Itulah yang membuat ayahnya Ewok membeli gitar itu. Alasannya pun sederhana:

Ketika siang tengah diguyur hujan, pengamen itu sedang tidak jauh dari rumah ayahnya Ewok. Pengamen itu diajak berteduh di rumah. Ayahnya Ewok membuatkan secangkir teh hangat dan sedikit cemilan yang masih ia punya di dapur. Perbincangan akhirnya dimulai dengan kalimat yang keluar dari mulut pengamen itu, "maukah kau beli gitar ini? Berapa saja, untuk kemudian saya belikan kembali sepetak tanah buat kuburan saya sendiri."

Setelahnya hanya cerita biasa. sebagaimana orang bertamu dan tuan rumah menjamu. Tapi yang membuat menarik adalah ketika si pengamen itu menjawab bagaimana ia memainkan gitarnya: "sebenarnya semua lagu mempunyai nada yang sama, kau hanya cukup meresapinya dan petik senarnya. Jadi saya cukup memetik senarnya sahaja."

Kau mesti bayangkan bagaimana semua lagu ia mainkan. Merdu dan syahdu. Maka beruntunglah yang tidak punya gangguan telinga.

Saat pengamen itu hendak pamit, ayahnya Ewok akhirnya memenuhi permintaan pengamen itu: gitarnya dibeli, walau ia sendiri tidak bisa memainkannya sama sekali. Dan pengamen itu ditemukan mati di bawah pohon randu, setelah bertemu ayahnya Ewok suatu hari.

Gitar adalah cara Ewok mengingat kebaikan ayahnya. Sejak kecil, bukan pendidikan formal yang jadi utama, melainkan bisa bermain gitar sebaik pengamen itu.

***

Imas pernah bertanya pada Ewok, sejak kapan bisa bermain gitar? Jawabnya singkat, sejak Ayahnya pergi dan menitipkannya kepada Neneknya.

***

Kembali Ewok merasakan kehilangan yang sama seperti dulu ditinggal ayahnya. Meski ia sendiri tahu bagaimana mesti bersikap, tetap saja, kehilangan meninggalkan pahit yang menyakitkan. Setiap hari, setiap selesai Ewok bermain di kedai kopi temannya, ia akan pergi ke ujung jalan Asia-Afrika. Sudah lewat tengah malam ia akan menunggu surat kabar Pikiran Rakyat datang untuk paginya didistribusikan. Halaman demi halaman ia baca dengan teliti, mencari kabar Imas yang pergi.

Malam yang dingin. Langit yang selalu murung setelah kepergian Imas. Ewok malah pernah tertidur di seberang jalan karena lelah menunggu surat kabar. Beralaskan gitar yang dijadikan bantal dan sarungnya untuk menutup lengan. Ia lupa, setiap hari besar surat kabar pun ikut libur.

***

Imas memesan kopi. Ewok memesan susu murni. Imas bercerita masa kecilnya. Ewok mendengarkannya dengan saksama. Imas bertanya banyak tentang masa lalu Ewok. Ewok menjawab tidak jauh berbeda dengan masa lalu Imas. Imas tidak pernah bosan menceritakan lukisan. Ewok selalu suka menulis lagu dari cerita Imas yang ia imajinasikan.

Imas suka lagu-lagu buatan Ewok. Ewok selalu menagih cerita-cerita surealis yang keluar dari mulut Imas. Hari ini Imas bercerita, besoknya Ewok sudah jadikan satu lagu utuh yang ia mainkan di kedai kopi temannya.

Namun hanya karena pertanyaan Imas tentang ayahnya Ewok, hari itu Ewok tidak menulis lagu. Kenangan itu hadir. Menulis bermodal ingatan, bagi Ewok, sama saja membunuh ingatan itu sendiri. Ewok tidak ingin.

***

Segerombolan pemuda sedang mabuk di jalan Braga. Dekat sebuah pub yang di dalamnya musik dengan tingkat suara yang mampu membekakkan telinga. Imas digoda dan Ewok masih bersamanya di sana. Tapi siapa peduli? Tidak ada yang orang mabuk pedulikan.

Perkelahian akhirnya pecah. Ewok babak belur. Lima melawan satu. Sekuat apa pun usaha bertahan, lima tetaplah lima orang.*

***

Semestinya tidak ada hari itu. Atau lebih tepatnya hari itu tidak terjadi. Namun apa boleh bikin, hari itu terjadi juga. Imas pergi dan Ewok selalu menunggu kabar Imas kembali. Sialnya lagi, Ewok ditemukan mati di bawah pohon randu dekat Jalan Asia-Afrika, tempat di mana surat kabar didistribusikan nanti pagi --yang mana hari itu surat kabar memang sedang libur dan orang-orang menganggap Ewok sedang tidur.

3/ Keduanya tidak bertemu, tapi dulu mereka pernah sepakat: akan selalu saling mencari, meski ada yang telah melupakan.

EWOK MENCINTAI IMAS dan begitu juga sebaliknya, tidak ada yang perlu diragukan kecuali keadaan dan kenyataan: Imas pergi untuk akhirnya dipaksa menikah dengan pilihan orangtua dan Ewok tidak bisa memaksa. Dan pertemuan terakhir itu mereka telah bersepakat kalau setelah perpisahan ini akan saling mencari satu sama lain dan saling mencintai dan melengkapi apa-apa saja yang kelak akan mereka lalui dan hidup bersama dan berjanji tidak ada lagi yang pergi dan Imas akan semakin sering bercerita tentang apa saja dan Ewok menulis banyak lagu dari cerita itu dan mungkin entah di Jalan Braga atau Jalan Asia-Afrika Imas dan Ewok melupakan semua itu dan meyakininya sebagai mimpi.

Bandung, 26 November 2016
*) Diambil dari satu fragmen novel "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas" karya Eka Kurniawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun