Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Satu Hari Ketika Gomah Tidak di Dapur

23 Desember 2016   02:53 Diperbarui: 23 Desember 2016   23:22 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

"Penelitian dan percobaan tidak selalu berbau ilmiah saja. Lihatlah hasilnya. Apakah kalian pernah merasakan kue yang serenyah dan secantik ini?" -- Menyemai Harapan, Maria A. Sardjono.

***

Dari beberapa novel karya Maria A. Sardjono, "Menyemai Harapan" adalah satu yang terbaik di antaranya. Setidaknya bagi saya. Setidaknya dari dua novel yang saya punya.

Ada hal menarik dari novel "Menyemai Harapan": karakter seorang Ibu yang menerima dengan segala keterbatasan dan keterpaksaan dipoligami oleh suaminya. Walau saya sendiri kurang bisa memahami kaitan antara pasrah dipoligami dengan prinsip orang Jawa yang relatif nrimo. Namun, yang kemudian menarik disimak adalah bagaimana seorang perempuan mengisi kebosanan sehari-harinya dengan menyibukkan diri di dapur.

Seperti halnya seorang pianis perempuan, misalnya, kuku jarinya akan jauh terlihat lebih terawat ketimbang bagian tubuh lainnya. Maka, di rumahnya, dapur adalah ruangan istimewa. Ruangan yang lebih bagus daripada ruangan lainnya. Dapur menjadi dunia tempatnya hidup dan menemukan identitas dirinya.

Ketika mempersiapkan pesta pernikahan anak perempuan satu-satunya di rumah, yang artinya menjadi yang pertama sekaligus terakhir, adalah membuat kue-kue terbaik yang dibisa. Dapur adalah laboratorium, baginya. Tiada hari tanpa aroma kue yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Mengendap di langit atap rumahnya.

Ia adalah seorang perempuan yang ketat terhadap proses masak-memasak. Semua yang keluar dari dapurnya mesti sempurna. Meski ada orang yang membantunya di dapur, tak seorang pun diizinkan meramu atau mengolah bahan makanan. Paling tugas orang lain di dapurnya sekadar membakar saja. Itupun dijaga dengan ketat. Tentu itu terbayar jika sudah mencoba masakannya: tidak hanya lezat, melainkan cantik-cantik.

***

Yang saya bisa lakukan ketika dimarahi Gomah adalah menyiapkan telinga dan diam. Itu saja. Dan saya dimarahi juga untuk hal yang itu-itu saja: tidak mengabarinya terlebih dulu kalau ada teman saya yang ingin main ke rumah. Kalau sudah begitu, kelar semua!

Seperti menjadi dosa besar untuk Gomah ketika tidak menjamu tamu dengan memberi makan. Sebab jika saya tidak bilang, Gomah menjadi repot sekali menyiapkan ini dan itu. Kalau sedang tidak ada yang bisa dimasak, maka membeli lauk matang pilihannya. Dan pilihan itu kadang membuatnya kurang puas.

Entah siapa yang mengajari Gomah masak, yang jelas Gomah sudah mencoba makan dari apa yang dimasaknya dari kecil. Apa yang ia makan adalah apa yang ia masak. Mungkin keahlian bisa didapat dari banyaknya berusaha --meski hasilnya kebanyakan gagalnya.

Rumah saya sekejap akan seperti dapur umum kalau ada orang yang ingin hajatan dan meminta Gomah untuk memasaknya. Semua senjatanya di lemari dapur akan keluar. Kompor yang kadang saya sendiri tidak tahu merasa memilikinya, penggorengan sebesar bak mandi bayi dan lain sebagainya.

Satu waktu Gomah pernah "tertipu" ketika memasak untuk pesta pernikahan. Sebab biaya membeli bahan makanan berbeda dengan ongkos memasak. Jadi hitung-hitungan diawal sebatas hitung-hitungan membeli bahan makanan saja. Setelah pesta pernikahan selesai, tetangga saya hanya datang ke rumah dan mengucapkan "terimakasih". Tidak lebih. Tentu Gomah kecewa tentu saja. Sebab dari bayaran itu, setelahnya Gomah akan masak lagi untuk makan-makan dengan tetangga saya. Setidaknya sebagai ganti bantu-bantu atau terkena imbas bau masakannya.

Seingat saya, itu jadi kali terakhir Gomah menerima pesanan orang dengan serampangan. Kini Gomah selektif sekali untuk orang-orang yang bisa menggunakan jasanya memasak. Salah satunya dengan memasang tarif yang tinggi. Atau, dengan alasan kondisi tidak sehat.

Gomah adalah penguasa tunggal dapur. Siapapun yang ingin menggunakan dapurnya, mesti siap dicerewetin Gomah. Ini mesti begini, itu mesti begitu. Apalagi jika dapur kotor setelah digunakan, duh, saran saya lebih baik menyerah saja. Teman perempuan saya tidak ada yang berani masak jika sudah main ke rumah. Siapa saja setelah saya ceritakan bagaimana dapur itu milik Gomah seorang.

Oia, btw-btw saya suka lho perempuan yang bisa masak. Pernah seorang teman perempuan saya dengan rasa percaya diri maksimal menantang balik saya. Ia bilang, ia berani masak di rumah saya. Tentu saya persilakan. Gomah juga selalu mengizinkan. Namun, setelah itu, teman perempuan saya menyesal pernah melakukan itu. Itu kali pertama ia datang ke rumah saya dan kali terakhir. Itu juga menjadi asal mula hubungan saya dan teman perempuan saya berakhir.

***

Sekenyang apapun saya makan di luar, saya selalu menyempatkan makan di rumah. Sudah tentu karena masakkan Gomah alasannya.

Tapi dari Gomah saya belajar: cara terbaik membantu penjual makanan (yang suka lewat di depan rumah, khususnya) adalah dengan membeli dan memakannya. Tidak pernah Gomah kasihan terhadap penjual apa gitu dengan membeli saja. Kata Gomah, tak ada yang lebih membahagiakan kalau masakannya dimakan.

Barangkali dengan seperti itu saya bisa membahagiakan Gomah setiap hari.

***

Enam sampai delapan tahun lalu mungkin tepatnya. Saya lupa. Itu untuk kali pertama keluarga saya merayakan Hari Ibu. Pagi harinya, ketika Hari Ibu, semula seperti biasa saja. Seperti tidak ada apa-apa. Namun ketika malamnya, ketika sedang ingin makan malam, Gomah nyeletuk, "kalau lagi hari ibu, mamah gak masak, yah. Sehari aja."

Kami diam. Saling lempar pandang. Dan menyetujuinya tanpa menjawab pernyataan Gomah. Sampai sekarang, jika sedang Hari Ibu, entah saya atau Gopah, akan di dapur masak buat Gomah.

Namun, yang saya masih ingat adalah malam ketika saya menulis selarik puisi di sebuah kertas dan menempelkannya di tembok tempat Gomah kali pertama melihatnya kalau keluar dari kamarnya. Besoknya adalah hari ibu. Saya juga masih ingat lariknya. Begini:

Yang tidak pernah dibagikan Mamah itu lelah, 
Yang selalu diperlihatkan Mamah itu tabah,  
Yang sering kami lupa itu berterimakasih sama Mamah.

Perpustakaan Teras Baca, 23 Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun