Setiap melihat karnaval budaya, entah mengapa, saya kerap ingat sajak 'garing' yang dianggit Khrisna Pabhicara: "Di negeri ini, segala adalah lelucon / terjadi untuk ditertawai. // Kecuali kamu, tercipta semata-mata / untuk diairmatai."
Sore tadi (17/08) saya duduk sembari mencecap kopi di warung. Saat itu juga, saya tahu sedang ada Karnaval Budaya yang tiap tahun selalu diadakan Karang Taruna (tingkat RW). Sengaja saya ke warung itu karena tahu kalau mereka, para peserta Karnaval Budaya, akan melintasi jalan ini. Rutenya cukup dekat, sekadar mengelilingi sebagian komplek perumahan saya saja. Jadi, sembari menikmati kopi, saya bisa sekaligus menyaksikan para peserta Karnaval Budaya berjalan beriringan.
Satu per-satu RT, dengan tema daerah yang sudah ditentukan panitia, para peserta lewat dengan riuh dan gaduh. Mereka bernyanyi lagu-lagu kebudayaan daerah masing-masing. Ada juga yang meneriakkan yel-yel dengan larik/bait penuh dengan humoris. Anak-anak kecil memakai seragam sekolah mereka sambil memasang tampang bingung; seakan tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan. Dalam hati saya tertawa, beberapa orang di warung kopi itu sibuk mengomentari pakaian yang dikenakan. Pada komentar orang-orang itu saya tidak peduli.
Untuk gelaran Karnaval Budaya ini, rasa-rasanya tidak ada yang berbeda dengan dua tahun lalu. "Seperti mengecat ulang bangunan yang sudah ada," jika saya boleh meminjam analogi Imam Riyadi, salah seorang panitia Karnaval Budaya ini.Â
Kopi belum tandas dari gelas sudah saya tinggal. Semua peserta yang mengikuti Karnaval Budaya sudah melintas. Saya menuju lokasi acara tempat berkumpul, di pelataran Perpustakaan Teras Baca.
Kurang atau lebih, barangkali, ini sama seperti yang rasakan kala menonton tim-nas sepak bola bertanding. Setidaknya itu yang saya tahu dari buku Pandji Pragiwaksono: Nasional Is Me.
Saya mencari duduk dekat panggung utama. Lalu tak lama Fakhri, ketua Karang Taruna, menghampiri.
"Kalau diperhatikan secara detil, ada sedikit perbedaan dari Karnaval Budaya tahun-tahun terdahulu," kata Fakhri. "Tahun ini ada porsi lebih pada proses presentasi setiap wakil peserta Karnaval Budaya. Sekitar 40 porsen. Itu terkait apresiasi kami kepada peserta yang mampu mendalami daerah yang didapat."
Oh. Kata saya dalam hati.
Ketika saya tanya siapa-siapa saja jurinya, cukup lumayan juga. Ada tiga: Putu Gana (Ketua Dewan Kesenian Kab. Bogor Bidang Sastra dan Keperbukalaan), H. Eddy Sumantri (Pak ReWe nyang kami hormati) dan Afandy Bakrie (Jejaka Favorit Kab. Bogor 2014).
Dengan komposisi semacam itu, setidaknya saya bisa sedikit memberi harapan: RT saya tidak lagi peringkat kedua. Bosan juga menjadi yang kedua --apalagi diduakan.
Memang selalu begitu. Dulu kami bergantian menjadi juara Karnaval Budaya. Entah mengapa, tiga tahun belakangan, RT saya kerap dinilai kurang. Subjektivitas adalah koentji. Di saat seperti itulah, sepertinya, ajang Karnaval Budaya menjadi pantas ditertawai dan kekalahan semakin jelas diairmatai.
Perpustakaan Teras Baca, 17 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H