Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hikayat Karnaval

12 Agustus 2016   21:34 Diperbarui: 12 Agustus 2016   21:45 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para punggawa Perpus @TerasBaca memeriahkan Karnaval (dokpri)

Namun cuaca memang tidak pernah diduga. Malapetaka yang tidak disangka tiba: kemarau panjang yang meranggaskan apa saja. Kekeringan terjadi di mana-mana. Dan, yang tersisa hanya embun yang disimpan perempuan yang dianggap gila oleh penduduk sekampung. Akhirnya penduduk kampung antri demi mendapat air embun itu. 

Ditengah antrian penduduk, ada salah seorang teman perempuan itu lalu menasihatinya “Kau mesti menghemat! Kau tak perlu member embun itu untuk mereka yang tidak seiman! Untuk mereka yang tidak mempercayai Kristus…,”

Tapi perempuan yang dianggap gila itu tidak menghiraukan nasihat temannya. Ia terus memberikan setetes demi setetes air embun itu untuk penduduk sekampung. Seiman atau tidak. Dan embun dalam cawan itu tak pernah habisnya.

Kebaikan memang tak pernah habis bila terus dibagikan. Baik untuk yang seiman atau bukan.

***

Terakhir saya dengar adalah ada sebuah petisi untuk menolak adanya pembuatan gedung Gereja di Perumahan Bambu Kuning. Bila rencana itu berjalan sebagaimana mestinya, pasti ini kali kedua saya akan kembali diperlakukan yang sama seperti penghancuran Gereja ketika saya berumur delapan tahun itu.

Dan mungkin, petisi itu sudah disahkan oleh para petinggi tempat itu. Sebuah petisi yang berkeliaran, menjumpai setiap rumah warga dengan bergiliran. Seperti halnya Orde Baru. Pula, yang selalu terjadi di Indonesia adalah mayoritas selalu merasa perkasa dihadapan minoritas, sedangkan minoritas selalu merasa kerdil di hadapan mayoritas. Begitu yang diucapkan Pandji Pragiwaksono dalam stand-up comedy special-nya, Messake Bangsaku.

Padahal dalam kehidupan sosial, tidak ada mayoritas dan minnoritas. Dalam kehidupan sosial, yang ada hanya ketentraman antar penduduknya. Atau, bila boleh meminjam ucapan Mbah Sujiwo Tejo dalam seminar umumnya di TedEx, Bandung, “tidak ada perbedaan dalam Matematika. Yang ada hanyalah persamaan. Jadi untuk apa membeda-bedakan?”

Perpustakaan Teras Baca, 28 September 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun