Ketika saya tahu itu, seperti ada rasa sakit yang dalam. Pertama, karena ketika kecil saya dibohongi. Dan yang kedua, bukannya saya ingin sok Nasionalis atau Prularlis, tapi menghancurkan suatu tempat ibadah bagi saya hanya dilakukan oleh para Bedebah!!
Seorang Sufi, Gus Candra Malik, pernah bilang saat bedah bukunya Makrifat Cinta, “Tuhan itu ada di mana-mana. Tidak hanya di Masjid. Tuhan bisa saja ada di Gereja, Vihara, ada di mana-mana pokoknya. Ketika kita percayai itu, pasti tidak akan kagok ingin kemana pun. Karena Tuhan selalu ada bersama kita.”
***
Menurut Keith A Robert, seorang Sosiolog Agama, sesungguhnya dalam sebuah konflik agama yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma atau moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh banyak orang atau kelompok. Yang hendak dicarai dari sebuah fenomena agama adalah dimensi sosialnya. Sampai sejauh mana nilai-nalai keagamaan memainkan peranan dan pengaruh atas eksistensi.
Bayangkan saja bila suatu konflik antar agama itu mengedepankan agama sebagai kedok yang diada-adakan saja? Maka, kedaulatan berkehidupan sosial tidak akan pernah ada. Tidak akan pernah selesai.
Ingatkah kalau beberapa bulan lalu Jawa Pos pernah memuat cerpen buah anggitan Agus Noor yang berjudul ‘Kalung’? sebuah kisah sepasang kekasih yang berbeda agama mesti hangus terbakar di sebuah gedung yang terbakar, tapi di antara reruntuhan itu kalung yang terbuat dari kayu dari keduanya tetap utuh.
Masih dari cerpen Agus Noor tadi, di sana juga dikisahkan Rasullah yang sedang sembahyang berjamaah lalu seperti ada yang menahan gerak matahari hingga subuh terasa lebih lama dari biasa. Jadi, ketika Rasullah ruku’ dan hendak mengangkat kepala, tiba-tiba Malaikat Jibril datang dan merentangkan kedua sayapnya di atas punggungnya lama sekali. Sampai sayap itu diangkat barulah Rasullah bisa mengangkat badan.
Lalu datanglah kembali Malaikat Jibril menghapiri Rasullah dan menceritakan apa yang terjadi ketika itu:
Ali bin Abi Thalib tergesa-gesa menuju masjid agar bisa sembahyang berjamaah, tapi di jalan yang tak begitu lebar itu,ada seorang tua yang berjualan begitu pelan. Ali tidak mengenalnya. Dengan sabar Ali berja;an di belakangnya, tak berani menyalip, karena ia menghormatinya. Pada saat yang sama pula, Allha memerintahkan malaikat Mikail untuk mengekang laju matahari dengan sayapnya agar waktu subuh menjadi panjang. Ketika akhirnya Ali bisa sampai ke masjid dan ikut sembahyang berjamaah.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib tahu, seorang tua laki-laki itu adalah seorang Nasrani.
Tidak hanya itu, ada juga kisah seorang perempuan tua yang dianggap gila oleh seluruh penduduk kampunggnya. Ia hidup sederhana di gubuknya. Setiap sebelum matahari terbit, permpuan itu selalu bangun terlebih dulu. Mengumpulkan embun-embu yang di daun ditampungnya di sebuah cawan. Setiap hari perempuan itu melakukannya, padahal saat itu air sedang melimpah-llimpahnya.