"Aku ingin mencintaimu dengan  cinta yang pernah kecewa. Maukah kau menerimanya? Maukah kau mencintai cinta yang pernah kecewa?  Aku ingin mencintaimu dengan cinta yang pernah kecewa, bukan dengan metafora metafora penyair tua yang sok tahu tentang cinta itu!" (Hujan dan Memori, 2013, dari buku puisi Saut Situmorang: Perahu Mabuk)
Sepertinya "kecewa" merupakan bahan pokok hidangan yang kini kalian rasakan: perubahan. Demo, bentrok dengan aparat keamanan, sampai aksi-aksi Kamisan, adalah cara-cara memasaknya semata.
Namun sayang, banyak yang malah mencibir cara memasak semacam itu. Terlalu kekanak-kanakan, tidak mendidik, seperti tidak ada cara lain. Biarlah, nantinya juga mereka sendiri yang merasakan perubahannya.
Kalau pun cara-cara semacam itu lebih sering dihujat, saya ingin tawarkan sesuatu yang lain: lewat gelaran olahraga. Bagaimana? Tanpa perlu demo-demoan, tanpa berlelah-lelah bentrok dengan aparat keamnana dan tanpa perlu aksi-aksi kemanusiaan.
Sepakbola, misalnya. Dulu, tatkala Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978, sepakbola bisa dibilang sebagai alat untuk mereka mengolah "kecewa" kepada rezim militer yang berkuasa.
Waktu itu, rezim militer yang berkuasa ingin memberitahu dunia atas prestasi-prestasi capaiannya. Seperti aji mumpung, rezim militer mengakalinya lewat gelaran Piala Dunia.
Tidak nampak berhasil, namun dari sanalah cikal-bakal mewabahnya Aksi Kamisan. Beberapa orang berdiri, diam dan menggunakan payung hitam menunggu tegaknya keadilan. Sebab perlawan terhadap rakyat Argentina pada rezim militer yang kala itu tengah berkuasa tidak ingin sepakbola diciderai dengan cara menutup-tutupi junta militer yang pernah rezim militer itu lakukan. Sampai kiper Argentina yang pertama pun jadi korbannya.
Saya jadi teringat bagimana "suhu politik" pernah memanas di tingkat RW. Skup yang kecil, yang barangkali pemerintah tidak peduli-peduli amat.
Dulu, seingat saya, sebelum reformasi kira-kira, teritori RT yang saya tinggali sampai sekarang ini adalah hasil pemekaran RT. Referendum dilakukan di rumah saya. Dihadiri perwakilan desa, ketua RW dan warga-warga yang terlibat di sana.
Sebelum jauh membahas itu, alasan pemekaran RT terkait kesenjangan dan ketidak-adilan antar warga, antar tetangga. Jika dirunut, alasan terbesarnya adalah orang-orang yang sering memenangi kejuaraan olahraga tingkat apa saja tidak pernah mendapat hak yang sebanding.
"Kecewa" itulah yang membuat RT saya memberanikan "makar" dalam tanda kutip. Prosesnya cukup panjang, Gopah yang mengkoordinir semua. Bermodal uang 50ribu untuk mengurus ini dan itu dari pihak RW. Entah diapakan uang itu, yang pasti, yang lebih penting diurus adalah kelengkapan administratif. 50 ribu sangat kurang!
Hasil referendum itu akhirnya memutuskan untuk kami memisahkan diri. RT saya adalah RT terakhir. Sehingga, dalam 1 RW terdiri dari 12 RT. Saya kira ini jumlah terbanyak yang ada di Indonesia. Walau sebatas perumahan.
Tapi interaksi sosial berjalan normal-normal saja. Kami masih satu bagian posyandu yang kini membawahi tiga RT. Pengajian mingguan ibu-ibu masih berjalan sebagai mana mestinya: bergiliran di tiap rumah. Arisan pun demikian. Orang-orang yang dulu telah ikut arisan sebelum RT kami pisah, masih tetap ada, Gomah contohnya.
Deretan rumah saya sebagai batas teritorial --yang memisahkan kedua RT. Hal pertama yang saya ingat adalah pengambilan piala-piala yang berhasil diperoleh orang-orang secara pribadi. Label pada plakat piala diganti. Dengan design yang sama, label itu berjudul: RT 12. Piala-piala itu menumpuk di Perpustakaan Teras Baca.
Saya adalah generasi pertama pasca-referendum itu. Ada jeda cukup lama saat reformasi. Tidak ada kegiatan apa-apa di tempat saya. Namun, ada dua gelaran besar di tingkat RW: karnaval dan sepakbola. Kami beradu gengsi untuk dua event itu. Karnaval, untuk menguji mana yang lebih kreatif menampilkan sesuatu. Sedangkan sepakbola, adalah harga mati! Sebelum bertanding kami selalu diingatkan, "kalian boleh kalah oleh RT mana pun, tapi tidak dengan mereka,"
Untuk karnaval, kami selalu unggul. RT saya punya seniman kelas wahid! Kami punya perupa handal yang selalu saya kagumi. Pernah kami membuat miniatur dua Ogoh-ogoh sebesar 4 meter yang masing-masing hanya bisa diangkat oleh 9 orang.
Intinya, setiap mendapat tema daerah untuk karnaval, RT saya benar-benar "membuat" daerah tersebut dengan skala kecil. Kami pernah bosan menang, tapi semangat berkarya dan bersaing tidak pernah padam.
Berbeda dengan sepakbola. Kami adalah tim kecil yang tidak punya sejarah menjadi juara. Apalagi pasca-referendum. Tim sepakbola saya hanya bermodal asal main saja. Selalu kalah. Tapi pertandingan selalu ramai ditonton kedua RT. Seperti halnya Real Madrid kontra Atletico Madrid; tim saya pastinya Athletico Madrid bila diibaratkan.
Kalah menjadi hobi, sampai pada akhirnya lebih baik diselesaikan dengan tawuran, berkelahi. Satu lapangan yang dari tanah merah yang kering dan berdebu menutupi segalanya. Sangat kelam.
Pernah saya dan RT saya juara di kompetisi yang diadakan DKM Masjid dekat rumah saya. Untuk kali pertama kami berhasil mengalahkan mereka. Hadiahnya satu ekor kambing. Saya kira itu adalah akhir dari kejayaan mereka. Regenerasi berlanjut. Saya punya jabatan baru: COO Tim. Setelah itu kami tidak pernah kalah sama sekali. Minimal, imbang.
Minggu lalu, ketika saya dengan Peang olahraga pagi di lapangan (yang dulunya) basket, Saya skipingan dan Orang main bola, saya didatangi tim muda RT saya. Saya diminta menjadi manajer tim. Jelas saya kaget. Saya tidak tahu, sebab biasanya yang menangani ini bukan saya. Tatapan mereka membuat saya luluh. Saya terima tawaran mereka.
Hanya latihan ringan. Pemanasan sebentar dan latihan keseluruhan. Lebih banyak tawa. Kami sedang senang-senang. Bermain dengan sebahagia mungkin.
Pukul 10 pagi, kami bertanding. Itu pertandingan kedua, setelah kemarinnya mereka berhasil menang mudah. Lawan yang kami hadapi tidak lain tidak bukan: RT sebelah yang sempat pisah. Seru. Seperti yang saya beritahu di awal, ramai yang datang menonton.
Pertandingan dimulai. Penonton riuh. Kami imbang. Setidaknya hasil itu cukup untuk kami lolos ke babak berikut.
Kemarin mereka menang. Begitu juga pagi tadi. Kami di final sore ini. Sayang, RT sebelah gugur. Kami tidak lagi bertemu. Kami punya musuh baru. Lawan baru yang sedang giat-giatnya mengalahkan kami setiap tahun. Juara baru. Mereka selalu berganti bersama kami jadi juara.
Sore ini kami bertanding. Pertandingan final yang telah jadi biasa bagi kami. Walau kami tak lagi bersaing, saya akan selalu ingat, seingat Saut Situmorang pada puisi Hujan dan Memori: "aku akan melupakanmu tapi aku akan mengingat namamu. (...) aku akan melupakanmu tapi aku akan mengingat cintamu, dulu."
Perpustakaan Teras Baca, 31 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H