Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Melihat Sitor Situmorang Mencatat Masa Lalu

24 Juli 2016   20:24 Diperbarui: 25 Juli 2016   02:58 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya ketemu juga di tumpukan rak buku Perpustakaan Teras Baca! Itu buku kumpulan cerpen "Ibu Pergi ke Surga" karangan Sitor Situmorang. Saya ingat betul, hanya buku ini yang saya beli dengan terpkasa.

Tentu saya ingin membacanya, tapi untuk memilikinya, waktu itu, saya rasa belum saatnya. Tapi buku teman saya itu keburu saya rusak. Bagian belakangnya sobek. Tanpa perlu na-ni-nu, saya bayar saja buku teman saya. Saya lebihkan 5ribu dari harga beli semula.

Tidak ada yang saya sesali sama sekali. Buku ini, kumpulan cerpen "Ibu Pergi ke Surga", memang pantas untuk dikoleksi. Setiap buku yang saya beli, saya hibahkan ke Perpustakaan Teras Baca.

Kali pertama merampungkan buku ini, yang ada dipikirkan saya: bila pun di sampul buku ditulis dengan nama orang barat atau nama latin, saya percaya. Membaca cerpen-cerpen Sitor seperti membaca karangan orang luar Indonesia. Cerita surealisme amat kental. Cara pandang karakter tiap tokoh dalam cerpen-cerpen sungguh sederhana. Sekilas, seperti membaca cerpen Ernest Hemingway atau, Gabriel Garcia Marquez. Sitor ada di antara keduanya.

Mungkin banyak yang mengenal Sitor Situmorang lewat puisi-puisinya. Ya, sebab Sitor memang Penyair. Ia, satu angkatan dengan Chairil Anwar: Penyair Angkatan 45. Begitu juga dengan saya. Puisi pertama Sitor yang saya tahu: Membalas Surat Bapak. Dibacakan pada salah satu ibadah puisi Malam Puisi Bogor.

Ketika Ibu meninggal
kutulis sajak
tentang derita --
Dunia melupakannya.
Kemudian kutulis cerita
bagaimana ia ke surga,
Dunia terharu --
Tentang duka yang tak sepatah.

Ada 23 cerita pada kumpulan cerpen "Ibu Pergi ke Surga". Namun, hanya dua cerpen yang selalu saya baca duluan kala saya baca ulang: "Kembang Gerbera" dan "Begitulah Selalu Kalau Hujan". Kedua cerpen itu sangat berkesan. Menggelitik dan penuh kritik.

"Kembang Gerbera" semacam pintu masuk yang ditawarkan Sitor pada pembacanya di buku ini. Pertemuan, kedekatan intim, perpisahan, dan bayang-bayang yang menghantui.

Jika melihat catatan editor, JJ Rizal, menyebutkan bahwa cerpen itu ditulis memang sebelum keberangkatan Sitor ke Eropa: Belanda dan Perancis. Pada akhir cerpen itu pun Sitor menuliskan "Besok aku harus terbang ke Barat."

Banyak dialog yang Sitor sajikan di cerpen "Kembang Garbera" daripada narasi. Dialog pendek yang pada akhirnya membentuk karakter "aku" dan "perempuan --yang katanya berinisial L. E, seorang staff juru bahasa H. Agus Salim pada masa revolusi."

Sama halnya dengan cerpen "Begitulah Selalu Kalau Hujan". Cerpen yang ringkas. Sebuah cerita yang Sitor tekankan dikawal: sedang ngantuk membaca surat kabar cerita ini kutulis. Membacanya cerpen ini akan terbayang sebuah dunia lindur seseorang. Seperti orang mengantuk.

Cerpen "Begitulah Selalu Kalau Hujan" berlatar di sebuah kedai minuman saat hujan deras. Dan semua cerita dimulai di sana. Si "Aku" yang mengantuk sambil menulis cerita setelah membaca surat kabar. Pertemuan dengan seorang perempuan dan perempuan itu minta diantar pulang saar hujan benar-benar reda.

Cerpen ini sangat surealisme. Menerima sesuatu yang surealis sebagai suatu kewajaran. Pertemuan dengan seorang perempuan yang sebenarnya sudah mati. Sebenarnya perempuan itu tak pernah ada. Kemudian Sitor menutup cerpen itu dengan: Surat kabar itu terjaruh dari tanganku. Gadis ternyata tak ada lagi di depanku dan hujan turun lagi.

Lewat cerpen, Sitor ingin mengungkapkan kesan pada sekeliling yang sangat menggugah untuk dituliskan. Jadi, saya rasa wajar saja bila banyak penulis-penulis sekarang ini mencurahkan hatinya lewat cerpen dan melabeli cerita itu cerita fiksi. Sebab, sekali lagi, perasaan sangat menggugah untuk dituliskan. Cara tutup buku dengan masa lalu, untuk membuka perkembangan dan kemungkinan baru.

 

Perpustakaan Teras Baca, 24 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun