Sesampainya di rumah, Peang belum tidur. Ia menunggu saya pulang dan menawarkan makan. Pedahal besok ia masuk sekolah, berbeda dengan saat Taman Kanak-kanak: hari sabtu libur. Hari ini Gomah tidak masak, tapi sore tadi Gopah beli pecel ayam. Peang sudah habis dua potong paha, katanya Gomah. Ya sudah, saya cuci muka, tangan dan kaki lalu ganti baju. Peang main komputer.Â
Selesai makan dan cuci piring, saya mengajak Peang tidur. Sudah malam. Ikan saja bobo. Peang nurut. Ia ke kamar mandi, cuci tangan dan kaki. Saya sudah rebahan di kamar menunggu Peang.
Lampu saya matikan. Kipas saya nyalakan. Malam ini terasa gerah, walau tadi sore, kata Gomah, hujan turun cukup deras. Peang dengan sekonyong-konyongnya lompat ke kasur, ya ke kasur di mana saya sedang tidur(an). Badannya yang lumayan besar cukup membuat saya sedikit eungap.
Kami saling hadap-hadapan. Peang memulai cerita. Cerita selama ia sekolah yang hampir genap satu minggu ini. Beberapa saya sudah tahu, sebab sepulang kerja ketika saya sedang selesai makan atau ngopi sambil rokoan, Gomah cerita apa saja kegiatan Peang di sekolah.Â
Peang memulainya dari hari kedua. Sial, pintar juga dia! Karena hari pertama, ketika saya selesai mengantarnya ke sekolah dan meninggalkannya dengan Gomah, Peang nangis.
Tapi saat itu Peang tidak berkecil hati. Semangatnya sekolah selalu tinggi, hanya saja selalu susah buat mandi pagi. Peang lebih suka langsung nonton tv atau main komputer kalau bangun tidur sebelum sarapannya siap. Butuh ekstra tenaga untuk menyuruhnya mandi.
Jadi, saat Gomah mencarikan nama Peang di daftar kelas yang ditempel pihak sekolah di mading. Peang bersama teman-teman barunya yang belum ia kenal berbaris di lapangan. Mungkin karena di lingkungan baru Peang belum terbiasa dan ada rasa cemas yang barangkali hanya ia rasakan. Saya merasa bersalah karena hanya mengantar dan menjemput Peang di hari pertama, tanpa menungguinya. Ya karena pada saat itu juga ada yang mesti saya selesaikan. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Saya jadi teringat puisi Andi Gunawan, "Hap!": kau sakiti hatiku berkali-kali dan aku tak mengapa. Hatiku ekor cicak.
Saya hanya ingat puisi itu saya. Ada hubungannya? Â Tidak. Agar supaya saya terlihat keren saja. Tapi saya tidak ingin membuat Peang menangis untuk kali kedua atas kesalahan saya yang sama.
Peang menceritakan kalau ia sudah mendapat tugas dari gurunya. Bu Amel, namanya. Peang diminta menulis satu kalimat utuh. Tentu bukan sesuatu yang sulit. Sejak TK, malah dia menuliskan kalimat sampai 10. Peang dapat nilai 100 dengan tulisan yang masih sama jeleknya seperti di TK.
Di hari ketiga, Peang diminta memimpin baris di depan kelas. Itu biasa dilakukan oleh anak-anak SD sebelum masuk kelas. Barisan dibagi dua: barisan laki-laki dan barisan perempuan. Hanya lencang kanan yang Peang tahu. Teman-temannya menuruti. Bagi yang barisnya paling rapih maka boleh masuk kelas duluan. Entah apa maksudnya, padahal sama saja. Toh, hanya berbeda beberapa detik saja.
"Kamu jadi ketua kelas?" tanya saya.
"Bukan,"
"Kok kamu mimpin barisan?"
"Disuruh Bu Amel," jawab Peang. "Ketua kelasnya ada lagi, putih. Gateng, deh,"
Saya sadar, Peang hanya menang besar (perutnya).
Lalu kemarin. Saya baru sadar, sekarang setiap kamis anak-anak sekolah memakai seragam pramuka. Seragam Peang kebesaran. Tidak ada ukuran yang pas untuknya. Peang mulai kenal beberapa teman. Anehnya, yang dikenal Peang semuanya perempuan. Peang hafal dan menyebutkannya satu per-satu. Berasan --itu istilah yang Peang gunakan untuk mengumpamakan kekesalan, semisal: "belagu lu".
Dari luar kamar Gomah sudah meminta kami tidur. Kemudian Peang membalas, ya. Kepada saya, ia "ssttt...,"
Saya pun meminta Peang tidur. Dia tidak mau. Peang melanjutkan ceritanya.
Hari ini ia olahraga. Main futsal. Katanya, timnya menang dengan skor 10 - 3. Saya tidak percaya. Saya tahu cara hitung-hitungan Peang kalau untuk ini. Lawannya pasti dipaksa melakukan ini-itu sampai. Walau bolanya masuk dihitung, namun ketika nilainya mendekat, nilai lawannya dikuranginya sendiri. Sesuka hati. Saya adalah korbannya.
Juga, katanya lagi, tadi dia sholat jumat. Pulangnya hujan-hujan setelah mampir dulu ke rumah makan Padang. Naik motor sama Gopah. Sampai di rumah, keduanya diomelin Gomah.
Saya minta Peang untuk tidur. Tunggu-tunggu, katanya.
"Besok berangkat jam berapa, Mas?" tanya Peang.
"Siang,"
"Jam berapa?"
"Jem 12an kayaknya,"
"Besok pulangnya jemput, ya. Beli mainan,"
Lalu, dengan cepat Peang membalikkan badan. Menghadap tembok. Lebih mirip orang yang ingin memeluk tembok, sih. Peang tidur.
Berasan. Ujung-ujungnya minta maenan.
Perpustakaan Teras Baca, 22 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H