Maka yang dilakukan Alan Lightman, saya duga, dengan membalikkan langkah fisika itu. Alan Lightman memulainya dari jawaban; dari rumus-rumus yang telah Einstein temui. Lalu, perlahan, dengan narasi-narasi pendek serta kalimat yang hemat layaknya puisi, Alan Lightman mengantar kita pada sebuah soal fisika: Apa saja yang dilakukan Einstein sebelum ia menemukan teori relativitas? Seperti apa fungsi dan keadaan lingkungan sekitarnya sehingga ia mampu merumuskan teori relativitas?
Inti novel ini memang menceritra ulang apa-apa saja yang terjadi sebelum Einstein menemukan teori relativitasnya itu. Menarik, sebab di sanalah kita tahu, jika boleh meminjam istilah majalah TIME kepada Einstein, caranya bekerja lebih mirip seniman daripada seorang ilmuwan.Â
Bila saya boleh artikan secara asal teori relativitas, seperti ini: setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing meski ada dua orang yang melakukan hal serupa di ruang dan waktu bersamaan.
Alan Lightman merekonstruksi ulang semua pikiran, gagasan sampai lingkungan tempat Einstein menemukan teori relativitas.
Dalam kondisi kereta yang tertahan dan (masih membayangkan) besok jadi hari terakhir, saya kira, semua jadi tak bernilai sama sekali. Semua akan selesai besok. Apa yang kita banyangkan tentang masa depan, seketika berbentur dengan tembok besar bernama "waktu". Sebab waktu adalah kepastian.
Menikmati tidur di kereta sebagai tidur penghabisan. Orang-orang yang mereka ajak ngobrol lewat telepon genggam akan mengakhirinya dengan ucapan datar, tanpa represif sama sekali. Masing-masing dari kita akan melupakan pengalaman menarik. Tidak ada lagi kemudian hari. Waktu berhenti. Dan kereta lupa mentaati jadwalnya hari ini.
CommuterLine Bogor, 21 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H