Saya punya pertanyaan sederhana: berapa waktu terlama yang pernah kamu alami kereta tertahan di sinyal masuk stasiun? --saya, 1 playlist di handphone; yang terdiri dari 21 lagu.
Buat apa kesal? Toh saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saat kereta tertahan, Â ada dua hal yang saya lakukan: melanjutkan baca buku dan berdoa tidak ada batu liar yang menimpa jendela kereta.
Untuk yang kedua, saya pernah alami sendiri. Waktu itu sudah malam, kereta terakhir jika saya tidak salah ingat dari stasiun Tanah Abang menuju Bogor. Sepi penumpang, itu akhir pekan. Saya saja sampai mengangkat kedua kaki ke bangku penumpang, bahkan sesekali saya tiduran. Kereta tertahan hampir 20 menit. Tidak ada yang saya lakukan; handphone low-bath, buku tidak bawa dan koran tertinggal di kereta sewaktu transit di Tanah Abang.
Tak lama terdengar keributan. Kereta tepat berhenti di pemukiman warga dekat stasiun. Dari jendela kereta saya intip keluar. Hanya sekumpulan anak muda yang sedang menikmati akhir pekan. Baru ingin duduk, salah seorang dari mereka berteriak dan melompat ke dekat jendela. Saya kaget. Entah apa yang dikatakan, sama sekali tidak terdengar. Lalu, lima batu dengan keras menghantam jendela kereta. Walau saya tahu jendela tidak akan langsung pecah, namun saya rekleks saja membungkukkan badan.
Saat kereta tertahan, saya tidak ingin hal itu terulang lagi.
Saya masih membaca buku saat kereta tertahan. Enaknya, penumpang tidak terlalu banyak. Saya masih bisa sesekali menggerakkan badan ketika pegal lama berdiri.
Kereta tidak bergerak sama sekali. Entah ada apa, tiba-tiba saya terpikir seperti ini: bagaimana jika besok adalah hari terakhir di dunia? Lantas apa yang orang-orang ini lakukan ketika mereka masih terjebak dalam kereta?
Itu semua efek membaca novel "Mimpi-mimpi Einstein" karangan Alan Lightman. Saya dapati buku ini di toko bekas, cuma 10ribu, lima bulan lalu. Murah dan wujudnya masih lumayan baik.
Novel yang bagus. Saya sudah beberapa kali membacanya. Khusus ketika saya ingin belajar menulis fiksi, saya akan baca ulang novel ini. Sebab novel ini unik. Sebab novel ini rasa-rasanya seperti membaca buku catatan harian guru fisika; di sini saya membayangkan guru fisika saya sewaktu STM yang cantik-kemudian-menikah-saat-saya-kelas-dua.
Saya kira novel ini tidak melulu membahas biografi Einstein. Menempel karakter asli Einstein bisa saja. "Mimpi-mimpi Einstein" lebih mirip novel sejarah. Selayaknya novel-novel Pramoedya Ananta Toer: Tetralogi Pulau Buru.
Buku ini pun ditulis secara fisika. Maksudnya, dengan cara bagaimana fisika mampu menjawab pertanyaan. Begini, yang saya dapat dari pelajaran fisika: sebuah soal narasi, lalu dibuat turunan dengan lambang "Diketahui", lalu berlanjut "Ditanyakan" dan terakhir "Jawab".
Maka yang dilakukan Alan Lightman, saya duga, dengan membalikkan langkah fisika itu. Alan Lightman memulainya dari jawaban; dari rumus-rumus yang telah Einstein temui. Lalu, perlahan, dengan narasi-narasi pendek serta kalimat yang hemat layaknya puisi, Alan Lightman mengantar kita pada sebuah soal fisika: Apa saja yang dilakukan Einstein sebelum ia menemukan teori relativitas? Seperti apa fungsi dan keadaan lingkungan sekitarnya sehingga ia mampu merumuskan teori relativitas?
Inti novel ini memang menceritra ulang apa-apa saja yang terjadi sebelum Einstein menemukan teori relativitasnya itu. Menarik, sebab di sanalah kita tahu, jika boleh meminjam istilah majalah TIME kepada Einstein, caranya bekerja lebih mirip seniman daripada seorang ilmuwan.Â
Bila saya boleh artikan secara asal teori relativitas, seperti ini: setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing meski ada dua orang yang melakukan hal serupa di ruang dan waktu bersamaan.
Alan Lightman merekonstruksi ulang semua pikiran, gagasan sampai lingkungan tempat Einstein menemukan teori relativitas.
Dalam kondisi kereta yang tertahan dan (masih membayangkan) besok jadi hari terakhir, saya kira, semua jadi tak bernilai sama sekali. Semua akan selesai besok. Apa yang kita banyangkan tentang masa depan, seketika berbentur dengan tembok besar bernama "waktu". Sebab waktu adalah kepastian.
Menikmati tidur di kereta sebagai tidur penghabisan. Orang-orang yang mereka ajak ngobrol lewat telepon genggam akan mengakhirinya dengan ucapan datar, tanpa represif sama sekali. Masing-masing dari kita akan melupakan pengalaman menarik. Tidak ada lagi kemudian hari. Waktu berhenti. Dan kereta lupa mentaati jadwalnya hari ini.
CommuterLine Bogor, 21 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H