Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Mereka yang Menjaga Pintu-pintu

11 Juli 2016   21:42 Diperbarui: 11 Juli 2016   21:46 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

Ada berapa jenis penjaga pintu yang kamu tahu? Apa saja, baik itu semacam profesi atau bukan. Penjaga pintu air katulampa. Apa lagi? penjaga pintu sebuah pertunjukan. Masih ada? Saya tawarkan satu yang baru: penjaga pintu kereta.

Semua tentu ada fungsi maupun manfaatnya. Penjaga pintu air katulampa, misalnya.

Saya akan memulainya dengan sebuah pertanyaan yang lain: Seberapa sering kalian mencaci atau mendengar cacian kepada Bogor setiap musim banjir melanda Jakarta?

Kalian tahu, ada seorang yang setiap harinya menjaga ketinggian air di Bogor sana, di pintu air katulampa. Letaknya ada di sekitaran Tajur. Familiar dengan kata "Tajur", bukan? Ya, tempat wisatawab menghabiskan uang saat liburan untuk membeli oleh-oleh khas Bogor dan tas dengan harga yang amat miring.

Teman saya, sewaktu kuliah dulu, sudah menjadi wartawan di beberapa media di Bogor dan kontributor untuk media-media nasional yang berdomisili di Jakarta. Setiap musim hujan, siang atau malam, ada yang selalu ia jadikan tempat liputan: mendatangi seorang Pak Tua di pintu air katulampa. Apa pun kabar yang teman saya kirim, berupa berita tentu saja, penduduk Jakarta selalu berdoa supaya air tidak mencapai batas ketinggian.

Pernah satu malam, ketika hujan sedang lucu-lucunya, saya dan teman saya sedang ngopi-ngopi asyik di sanggar teater. Kopi itu baru saja diseduh. Asapnya masih mengepul di bibir gelas. Tak lama ada pesan masuk ke telepon genggam teman saya, dari penjaga pintu air di katulampa, katanya. Ia pergi meninggalkan saya dan dua gelas kopi yang masih panas. Itu, seingat saya, saat di mana Jakarta sedang sering-seringnya hujan, tapi tidak banjir.

"Gue sama Pak Tua kalo lagi hujan gini gak kenal libur," kata teman saya sebelum ia pergi liputan.

Lalu, penjaga pintu sebuah pertunjukan. Ini saya rasa penting. Pernah kamu datang ke sebuah pementasan teater atau show stand-up comedy, kemudian ketika di tengah acara berlangsung masuk salah dua penonton lewat di depanmu, mengahalangi pandanganmu pada pertunjukan yang sedang kamu tonton? Betapa menyebalkannya mereka yang datang terlambat itu. Selain menghalangi, juga merusak konsentrasi.

Penjaga pintu sebuah pertunjukan tidak perlu berbadan besar, berkulit gelap dan menakutkan.

Seorang yang menjaga pintu sebuah pertunjukan mesti punya beribu alasan untuk tidak mengizinkan masuk para penonton yang terlambat. Ia sadar, meski akan dicaci, tapi tanggung jawabnya pada penonton yang datang tepat waktu juga mesti dihargai.

Kepadanya, rasa-rasanya saya ingin selalu mengucapkan terimakasih.

Dan ini, penjaga pintu kereta. Bukan petugas resmi, maksudnya. Bagi yang sering naik kereta pasti tahu: orang-orang yang berdiri di pintu kereta itu bukan sekadar berdiri dan menyandarkan badannya, tapi merekalah yang dengan suka rela menahan pintu bila kereta sudah ingin berangkat lalu masih ada penumpang lain yang ingin naik.

Pernah bayangkan ketika sudah lari sekuat tenaga mengejar kereta, tapi saat ingin masuk malah pintu kereta menutup dan kereta pergi meninggalkan? Itu seperti seorang yang memperjuangkan cintanya, namun mesti kandas karena tak dapat restu orangtua --sebab berbeda keyakinan.

Tidak usah mengharap lebih pada petugas resmi. Sebab apa yang mereka lakukan sesuai prosedur. Kereta mesti berangkat tepat waktu, tanp peduli ada atau tidak orang yang ingin naik kereta juga. Walau di satu kesempatan, kereta juga sering mengalami gangguan dan mereka membuang-buang waktu penumpang. 

Penjaga pintu kereta adalah mereka, penumpang biasa, yang sama-sama tahu rasanya sering ditinggalkan kereta. Sering bahkan saya lihat jari mereka hampir terjepit, kaki mereka sakit menahan pintu, sampai telapak tangannya perih karena memukul-mukul pintu karena ada penumpang lain yang entah tas atau jaketnya tersangkut.

Dan saya membayangkan hadir di puisi JokPin: Misalkan Aku datang ke rumahmu / dan kau sedang khusus berdoa / akankah kau keluar dari doamu / dan membukakan pintu untukKu.

Commuterline Tanah Abang - Bogor, 11 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun