Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertemu Perempuan Paling Riang di Kereta

29 Juni 2016   02:22 Diperbarui: 29 Juni 2016   02:43 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta Kompasiana | foto: Widi Kurniawan

Perempuan itu teman saya di kampus. Dulu, bersama dia beserta kawanannya, saya sering mengadakan event bersama. Apa saja. Kecil-kecilan. Dari penggalangan dana lewat pertunjukan Stand-up Comedy dan pameran lukisan untuk Yayasan Kanker Anak, misalnya. Saya menyumbang konsep, dia beserta kawanannya memfasilitasi; dari perizinan tempat sampai dekanat, sedangkan untuk pembiayaan kami selalu urunan. Tidak ada harus ini-itu, yang ada ketika itu adalah acara bisa berjalan.

Barangkali baru perempuan itu, orang yang saya temui selalu riang. Dari dulu tidak berubah. Keriangan, baginya seperti kejujuran. Jarang sekali, bahkan tidak pernah saya menemui dalam keadaan sedih. Sesedih-sedihnya dia diputusin pacarnya dulu, kami masih bisa cekikikan di kantin. Itu alasan klise saya mau mempercayai konsep setengah matang pada perempuan itu dan kawanannya. Karena masih berlapis alasan-alasan lainnya.

Benar rasanya yang dikatakan Mba Saras Dewi sewaktu membedah novel trilogi Parasit Lajang karya Ayu Utami: Pengakuan Eks Parasit Lajang, “kejujuran itu menuntut kejujuran lainnya. Tidak bisa pada satu karya jujur, tapi karya sebelum atau sesudahnya tidak.”

Kata perempuan itu, “semoga ini kereta ketahan lama kek masuk Stasiun Manggarai.” Baru selesai mengucapkan itu, kereta tertahan tidak bisa masuk Stasiun Manggarai karena banyaknya antrian. Cukup lama, 20 menit barangkali kereta tertahan.

Perempuan itu menceritakan bahwa menikah itu enak. Ibadah paling enak, katanya. Karena urusan pekerjaan, dia dan suaminya hanya bertemu satu minggu sekali. Malah, satu waktu pernah sekalinya beretemu dengan suaminya ketika sedang “datang bulan”. Selesailah urusan. Hari itu, katanya, mereka hanya di kamar dengan masing-masing baca buku.

Saya tertawa. Perempuan itu tertawa juga, lebih keras malah. Perempuan itu berkali-kali memukul saya dan senang karena tidak ada yang berbeda. “Kapitalis belum bisa mengubah kita.” Lagi-lagi kami tertawa. Sedangkan Eca dan Kamil masih asyik ngobrol berdua, entah membicarakan apa.

Perpustakaan Teras Baca, 29 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun