Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertemu Perempuan Paling Riang di Kereta

29 Juni 2016   02:22 Diperbarui: 29 Juni 2016   02:43 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta Kompasiana | foto: Widi Kurniawan

Eca dan Kamil entah sedang membincang apa. Sebelum masuk Stasiun Karet mereka sudah asyik ngobrol berdua. Saya masih mendengarkan lagu lewat headset dari Stasiun Palmerah, jadi saya biarkan saja. Namun, saat masuk Stasiun Karet, saya hanya berujar, “tumben sepi yang naik.” Mereka masih asyik berdua.

Apa yang saya ucapkan tadi memang tidak perlu tanggapan, hanya sebatas mengingatkan: kalau malam ini kereta beserta isi-isinya sedang bersahabat. Saya tambah saja volume lagunya dan mengambil Koran KOMPAS dari tas.

Entah mengapa saya ingin kembali membaca ulang esai Pak SBY yang hari itu ada di Harian KOMPAS – yang disaat bersamaan Harian KOMPAS sedang merayakan ulang tahunnya ke-51. Indonesia 2045, judulnya. Bukan esai yang bagus, menurut saya, biasa saja. Sebab di esai tersebut Pak SBY terlalu banyak menggunakan diksi “harus”.

Pada esai itu Pak SBY memberi tahu langkah demi langkah demi mencapai “Indonesia Sukses” seabad pasca Indonesia merdeka. Bukan tidak suka, namun dari esai tersebut, karena telalu banyak menggunakan kata “harus”, seakan hanya langkah itu yang tepat untuk mencapainya. Pedahal untuk menggoreng kerupuk tidak mesti menggunakan minyak, bukan?

Kereta berjalan pelan. Seperti siput kekenyangan. Memasuki Stasiun Sudirman, tempat di mana muda-mudi penuh prestasi menggantungkan nasib serta mimpi itu, penumpang yang masuk untuk mencari tempat duduk sama gigihnya dengan mengharap bisa balikkan sama mantan. Lagi, penumpangnya tidak banyak, hanya sedikit rusuh.

Tepat pada bagian “Di hadapan segenap sivitas akademika, saya sampaikan bahwa tahun 2045 Indonesia bisa menjadi negara yang lebih maju, kuat, dan sejahtera. Dengan kerja keras dan pertolongan Tuhan, insya Allah Indonesia bisa. Tentu ini tidak tidak datang dari langit dan jalan yang ditempuh tak selalu lunak.” ketika membaca esai Pak SBY, seorang menambrak saya dari depan dan hampir menjatuhkan koran di genggaman tangan saya. Perempuan.

Saya kenal perempuan itu. Saya diamkan. Saya takut dia tidak kenal saya, sedangkan saya masih ingat betul siapa dia. Tidak enak memang diberi karunia Tuhan, tapi belum bisa menggunakannya dengan baik: sulit melupakan.

Perempuan itu duduk. Seorang laki-laki muda dengan kemeja yang duduk di kursi prioritas memberikan tempatnya. Tapi, apalah daya, niat iseng muncul. Saya hubungi dia lewat telepon saat perempuan itu baru ingin berselancar di Path. Perempuan itu mengangkatnya. Saya matikan. Tak lama perempuan itu mengirim pesan: kenapa? Saya jawab, gapapa lagian situ tiba-tiba duduk pedahal masih ada ibu-ibu yang bawa anak kecil berdiri dekat pintu.

Kepala perempuan itu menoleh ke sana-ke mari. Mencari sesuatu/seseorang: saya. Lalu, saya pukul saja kepalanya dengan gulungan koran –esai Pak SBY yang sedang saya baca tadi– sampai perempuan itu sadar keberadaan saya.

Perempuan itu berdiri, melompat, memukul balik saya dengan tangannya dan kami toss.

Barulah kami bertukar cerita. Sekarang perempuan itu sudah menikah, tiga bulan lalu kalau tidak salah. Dia marah kepada saya karena tidak datang. Saya berikan alasan ini-itu dan perempuan itu percaya. Perempuan memang lebih gampang percaya daripada menuduh yang tidak-tidak. Perempuan itu menanyakan kabar saya, dia bilang saya terlihat lebih gemuk sekarang. Perempuan itu mencubit perut saya sambil lalu tertawa. Tertawa, ya tertawa di kereta selepas-lepasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun