Tepat di dinding rumah puisi penyair ini ditempel sebuah puisi: alasan utama mereka bahagia adalah tidak peduli.
Di Kota Puisi, setiap malam minggu penduduknya pergi untuk beribadah, ibadah puisi. Malam Puisi mereka menyebutnya. Setiap café, angkringan, atau ruang publik biasanya dijadikan tempat ibadah. Selalu ramai dan khidmat. Barangsiapa datang dalam keadaan jomblo, pulang dari ibadah Malam Puisi bisa menggandeng pasangan baru. Barangsiapa yang sudah lama pacaran, di Malam Puisi pasangannya berani melamar. Barangsiapa yang selingkuh, pada saat itu juga diizinkan. Di Kota Puisi, perselingkuhan bukanlah tindakan haram, selingkuh adalah cara lain untuk menjemput kebahagiaan –meski dengan kepura-puraan. Sebab setia, di mana-mana langka.
Penyair ini mulai kesepian di kota yang telah dibangunnya, namun ia tetap menulis puisi. Kota Puisi semakin terdengar keluar. Banyak yang mendatangi kota yang dibangun dari kata-kata, baik wisatawan dari dalam dan luar negeri. Tujuan semua wisatawan biasanya sama: ingin melihat bagaimana kota ini bekerja.
Pertemuan itu terjadi biasa saja. Ketika penyair ini sedang mengajak kedua anak kembarnya belanja kesedihan di pusat perbelanjaan, ia bertemu dengan salah seorang asing yang tidak asing: kekasih lamanya. Hening sesaat sampai perempuan penyair ini bertanya, “Siapa dia, Yah?”
“Sumber segala sakit yang Ayah terima. Sumber segala puisi tercipta, jauh sebelum Ayah membuah Ibumu.”
Kekasih lamanya mendekati. Menyalami kedua anak kembar penyair ini. Mengelus kedua rambutnya. Mata kedua anak kembar itu, mirip sekali dengan matanya.
“Dari kedua matamu, kita pernah coba melihat kebahagiaan,” ujar penyair ini.
“Tapi kita tidak pernha melihat masa depan,” sambung kekasih lamanya.
Penyair ini membawa pergi anak kembarnya pulang dan menulis puisi. Hidup di antara orang-orang yang memiih melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang lain daripada menolong diri sendiri.
Sebuah kota, kata penyair ini, tidak akan pernah lepas dari kebohongan-kebohongan yang dibangun atas dasar kesadaran. Kekasih lamanya semakin tersudutkan. Mereka kembali bertemu di café tempat mereka pernah berpisah dan berjanji saling melupakan.
Mata kekasihnya terlihat berkaca-kaca. Entah dengan cara apa ia bisa dimaafkan. Entah dengan cara seperti apa ia bisa diberi kesempatan kedua.