Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Lima Hal yang Mesti Diperhatikan Sebelum Menonton Film "NAY"

20 November 2015   15:19 Diperbarui: 20 November 2015   15:54 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: 21cineplex.com"][/caption]Adalah “NAY”, film ketiga garapan Djenar Maesa Ayu setelah “Mereka Bilang, Saya Monyet!” (2008) dan SAIA (2009). Menariknya, film ini 90% dilakukan di dalam mobil. Hanya satu pemain dalam satu mobil, tak ada sesiapa kecuali dialog di antaranya. Struktur sinematogradi semacam ini terbilang tidak umum, atau barangkali baru pertama di Indonesia.

Tokoh “Nay” diperankan oleh Ine Febrianti. Pemilihannya pun Djenar lakukan pasca ia memainkan naskah “Monolog 3 Perempuan” dan berperan sebagai “Nayla”. Dibantu juga para pengisi suara seperti Joko Anwar, Ninik L Makarim, Cinta Ramlan, Farishad Latjuba dan Paul Agusta.

Berikut lima hal yang mesti dilakukan sebelum benar-benar memastikan diri menonton film “NAY”:

Satu, kenali Djenar Maesa Ayu –lewat karyanya.

Barangkali sedikit di antara kita yang mengenal Djenar di dunia perfilman. Jelas. Djenar adalah penulis. Sudah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan kelaminmu), Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah novel berjudul Nayla. Namun satu hal yang selalu Djenar suarakan pada karya-karyanya: Perempuan dan problematika tubuhnya.

Isu kekerasan terhadap perempuan, pemerkosaan, perilaku seks menyimpang dan lain-lain. Film NAY memang mengangkat ikhwal demikian, seorang perempuan yang menagih janji pada kekasihnya yang tidak ingin bertanggungjawab atas apa yang mereka perbuat. Mereka, ya mereka artinya bukan satu orang. Dan masyarakat umum sudah terlanjur memandang paradigma tersebut menjadi perempuanlah korbannya, tapi sekaligus tersangka.

Maka dari sana kita akan sama-sama paham untuk apa Djenar berkarya: menyuarakan mereka, para korban yang lebih memilih diam, yang dianggap suaranya tak akan lagi didengar karena trauma yang dalam.

Dua, menontonlah dengan orang yang tidak tahu-menahu jalanan Jakarta

Hampir keseluruhan alur film “NAY” adalah di sebuah mobil dalam perjalanan. Tempat yang dipilihpun karena film ini hanya memiliki dana yang pas-pasan, jadi berlokasi di Jakarta. Dari jalan Mampang, Kuningan dan Bundatan Hotel Indonesia. Ini akan sangat mengganggu bila teman masih aja ngajak temen buat nonton, ajak tuh pacar kita yang memahami nama-nama jalan di Jakarta.

Selama film berlangsung, temanmu akan refleks “Ah, ini di Kuningan. Tuh, liat, ada ini-itu-ini-itu...”

Akan lebih bijak, lebih arif, ajak temanmu masih TEMAN?! yang buta Jakarta. Kalimat yang keluar pun akan lebih enak didengar “Ini di mana, ya? Liat, deh tamannya bagus kalau malam. Kapan-kapan kita ke sana, yuk?” sambil dipegang tangannya.

Tiga, bersiap kecewa

Penikmat film di Indonesia tiba-tiba meningkat saat harga DVD bajakan lebih murah dari sebungkus nasi padang. Film-film box office yang semula hanya bisa kita baca ulasannya, kini dengan mudah didapat. Hal ini berdampak pada lahirnya kritikus-kritikus yang sering menanalisis dari keping bajakan, kualitas gambar, serta terjemahan yang diterjemahkan asal.

Setelah menonton film “NAY”, barangkali mereka akan kecewa: dari mana kita mulai mengjhina, Eh,mengkritik maksdunya?

Empat, kamu LDR-an? Cocok!

Kita akan seperti menikmati monolog dalam rupa sinematografi. Nay akan berdialog dengan managernya, pacarnya dan kerabatnya menggunakan telepon. Kecuali dengan ibunya-yang-tiada. Seperti LDR-an, bagi mereka semua nyata walau tidak ada wujudnya.

Dialog yang disajikan Djenar lewat Nay, menganjurkan untuk tidak bergantung pada siapa pun, sekalipun itu pada orang-orang terdekat. Sebuah konflik batin yang disatukan dalam satu kali perjalanan.

Lima, melihat Jakarta dari rupa yang berbeda

Dalam sebuah perjalanan itu, Nay terus dan terus mencari jawaban. Bukan dengan diam. Nay susuri tiap sudut ruang Jakarta –yang bagi sebagian orang, Jakarta adalah jawaban. Rupa malam kota Jakarta disajikan terbuka. Tanpa ada kepura-puraan.

 

Perpustakaan Teras Baca, 20 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun