Tiga, bersiap kecewa
Penikmat film di Indonesia tiba-tiba meningkat saat harga DVD bajakan lebih murah dari sebungkus nasi padang. Film-film box office yang semula hanya bisa kita baca ulasannya, kini dengan mudah didapat. Hal ini berdampak pada lahirnya kritikus-kritikus yang sering menanalisis dari keping bajakan, kualitas gambar, serta terjemahan yang diterjemahkan asal.
Setelah menonton film “NAY”, barangkali mereka akan kecewa: dari mana kita mulai mengjhina, Eh,mengkritik maksdunya?
Empat, kamu LDR-an? Cocok!
Kita akan seperti menikmati monolog dalam rupa sinematografi. Nay akan berdialog dengan managernya, pacarnya dan kerabatnya menggunakan telepon. Kecuali dengan ibunya-yang-tiada. Seperti LDR-an, bagi mereka semua nyata walau tidak ada wujudnya.
Dialog yang disajikan Djenar lewat Nay, menganjurkan untuk tidak bergantung pada siapa pun, sekalipun itu pada orang-orang terdekat. Sebuah konflik batin yang disatukan dalam satu kali perjalanan.
Lima, melihat Jakarta dari rupa yang berbeda
Dalam sebuah perjalanan itu, Nay terus dan terus mencari jawaban. Bukan dengan diam. Nay susuri tiap sudut ruang Jakarta –yang bagi sebagian orang, Jakarta adalah jawaban. Rupa malam kota Jakarta disajikan terbuka. Tanpa ada kepura-puraan.
Perpustakaan Teras Baca, 20 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H