Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Health Promoter

Master of Public Health Universitas Gadjah Mada | Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Distributor Kasih

21 Desember 2019   20:04 Diperbarui: 21 Desember 2019   20:08 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock.com

Sore yang sangat sibuk di tengah Kota yang besar. Para penghuni bawah langit sedang sibuk dengan ambisi mereka masing-masing, sedang Hugo hampir mati karena sudah beberapa hari ini tak ada sesuatupun yang masuk ke perutnya.

Suara teriakannya tak didengar para manusia yang telinganya sudah tertutup indahnya keegoisan. Tubuh lemasnya sudah mau ambruk. Beruntung masih ada tiang listrik pinggir jalan raya yang membantunya menyandarkan diri. Matapun perlahan tertutup dan semuanya menjadi gelap.

***

Aroma minyak gosok membangunkannya. Mata yang terbuka disambut oleh langit-langit rumah berwarna putih yang cukup ramah.

"Dimana aku? Surgakah?" tanyanya dalam hati.

"Sudah sadar, nak?" seorang kakek tua berbaju putih tiba-tiba sudah berada di samping tempat tidur.

Hanya anggukan yang diberikan Hugo. Matanya melalangbuana ke segala penjuru ruangan yang kesemuanya berwarna putih dan wajahnya masih juga memancarkan kebingungan.

"Kamu berada di rumah saya. Nama saya adalah Hugo. Sama dengan namamu." Pemuda ini sontak terkejut sambil bertanya-tanya dari mana kakek ini tahu namanya.

"Kakek Lukas, makanannya sudah siap." Kata seorang anak yang masuk ke kamar.

"Kakek Lukas? Bukannya namanya adalah Kakek Hugo?" lagi Hugo bertanya dalam hatinya.

Melihat Hugo makin kebingungan, Kakek tersebut lalu memegang pundaknya sambil mengajak mereka untuk makan bersama-sama. Rasa bingung bertambah terpesona ketika melihat bahwa rumah kakek ini sangat besar.

Kekagetan Hugo bertambah ketika melihat bahwa ruang makan yang besar itu telah diduduki oleh puluhan anak yang sudah bersiap untuk makan. Mereka semua duduk bersama dalam satu meja yang sangat panjang. Kakek Hugo lalu mempersilahkan Hugo duduk dan ia mengambil tempat di bagian kepala meja.

"Kakek Reus, bolehkah hari ini aku yang memimpin doanya?" pinta seorang anak pada Kakek yang selalu dipanggil dengan nama yang berbeda ini.

"Ia Reus, silahkan nak!" jawab Kakek tersebut.

"Terima kasih Kakek karena sudah membawa saya ke tempat ini." Ucap Hugo pada sang kakek untuk pertama kalinya dan hanya dibalas dengan senyuman oleh Kakek tersebut.

"Oh yah, mengapa setiap anak yang datang selalu memanggil namamu dengan sebutan yang berbeda?" tanya Hugo penasaran.

"Pasti kamu merasa kebingungankan, Hugo? Coba kamu lihat dia, namanya adalah Lukas, dan yang di sebelahnya adalah Reus. Mereka adalah diriku. Begitupun semua anak yang ada di sini adalah diriku. Karena itu aku akan dipanggil dengan nama yang sama seperti nama masing-masing mereka." Jawaban sang kakek makin membuat Hugo bingung.

"Kamupun adalah diriku, Hugo. Jika kamu mengijinkannya." Tambah sang kakek.

"Aku masih belum mengerti, Kakek. Lalu mengapa banyak sekali anak-anak di sini?" tanya Hugo lagi.

"Ayo makanlah sambil kujelaskan!"senyum sang kakek sambil menyodorkan makanan di meja pada Hugo. Banyak sekali makanan yang tersedia mulai dari roti, daging, sayur-sayuran dan lain sebagainya.

Dari penjelasan sang kakek barulah Hugo memahami bahwa sang kakek menampung para anak yang kelaparan dan tidak memiliki tempat tinggal di rumahnya. Anak-anak tersebut diasuh sang kakek seorang diri. Ada yang masih benar-benar kecil, adapula yang sudah pemuda seperti dirinya.

Setiap hari, anak-anak tersebut akan pergi ke jalanan kota untuk mencari mereka yang kelaparan dan ditolong dengan membawanya ke rumah sang kakek baik hati tersebut. Begitulah pekerjaan mereka setiap hari, tak ada yang lain. Anak-anak tersebut sering dipanggil dengan sebutan "distributor kasih" oleh orang-orang di jalanan kota.

"Maukah kamu tinggal di sini juga sebagai anakku, Hugo?" tawar sang kakek. Entah mengapa tawaran tersebut membuat hati Hugo menjadi sangat damai.

"Mau, Kakek. Aku sangat mau." Jawab Hugo dengan bersemangat yang disambut dengan pelukkan hangat dari sang Kakek.

"Makanannya sangat lezat dan membuatku langsung kenyang, Kakek." Ujar Hugo.

"Syukurlah, Hugo. Tapi jika kamu mau, masih ada satu makanan lagi yang membuatmu tidak hanya merasa kenyang, tapi juga bahagia." Tawar sang kakek lagi.

"Apa itu?"

"Ini, silahkan dimakan. Ini adalah makanan favorit semua anak yang tinggal di sini." Jawab sang kakek sambal menyodorkan sepotong roti berwarna putih pada Hugo dan langsung dimakan.

Setelah merasakannya, bukan hanya perutnya yang merasa kenyang, tapi hatinya juga terisi penuh. Makanan tersebut membuatnya sangat bahagia.

"Apa nama makanan ini, kakek?"

"Namanya adalah Kasih. Ini adalah resep rahasiaku. Kamu boleh memintanya setiap hari padaku dan membagikan pada orang-orang yang kelaparan di jalanan, jika kamu mau."

Setelah makan, semua anak kembali ke kamar mereka masing-masing, begitupun Hugo. Sang kakek menyertainya ke kamar.

"Bagaimana keadaanmu, nak? Sudah lebih baik sekarang?" tanya sang Kakek yang dibalas dengan anggukan.

Rumah sang kakek sangat nyaman bagi Hugo. Sepertinya ia tak ingin lagi pergi dari tempat itu.

"Besok, bolehkah aku membantumu untuk menolong orang-orang yang kesusahan di jalan?" pinta Hugo.

"Boleh sekali, nak. Saya sangat senang jika kamu mau membantuku sebagai seorang distributor kasih. Tapi, kamu harus kuat karena akan banyak sekali orang-orang jahat yang tidak senang dengan pekerjaan ini dan akan berusaha untuk mencelakaimu." Jawab sang kakek.

"Namun jangan takut, aku selalu akan bersamamu karena aku ada di sini dan selama aku bersamamu, tak ada yang dapat membuatmu terluka. Selain itu, kamu juga bisa meminta bantuan anak-anakku yang lain jika kamu merasa kesusahan." Tambah sang kakek sambli menunjuk pada hati Hugo.

"Ia kakek, terima kasih."

Hugo tampaknya sudah sangat mengantuk. Sang kakekpun mempersilahkannya untuk beristirahat.

"Oh yah kakek, semua anak memanggilmu dengan nama mereka masing-masing, begitu juga diriku. Tapi, siapa namamu sebenarnya?"

"Nama saya adalah AKU." Jawab sang kakek dengan penuh senyuman dan membuatnya tertidur lelap dengan hati yang sangat damai.

***

Hugo lalu terbangun dari pingsannya. Sudah beberapa jam ia tak sadarkan diri, sedang saat matanya terbuka, ada beberapa orang yang berada di sampingnya dan mendoakannya serta ada juga yang bernyanyi.

"Syukurlah kamu sudah sadar." Ucap salah seorang yang melihat Hugo telah sadar.

Hugo lalu mengetahui bahwa ia sedang berada di rumah seorang pelayan gereja. Nampaknya kejadian yang ia alami tadi hanyalah mimpi. Namun hatinya yang damai dan rasa bahagianya masih tetap ada.

"Terima kasih, kakek" ujarnya dalam hati.

"Apakah kalian adalah distributor kasih?" tanya Hugo yang dibalas dengan anggukan dan senyuman dari orang-orang yang berada bersamanya.

Kupang, 21 Desember 2019

Distributor Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun